Natuna (ANTARA) - Di perbatasan utara Indonesia, posisi Kabupaten Natuna menghadap langsung dengan perairan internasional serta berbatasan dengan beberapa negara, termasuk Malaysia. Kondisi ini memberi nilai strategis, sekaligus tantangan besar bagi daerah tersebut.
Letak Natuna jauh dari ibu kota provinsi, jika dihitung melalui perjalanan laut membutuhkan waktu satu hingga dua hari. Kondisi ini membuat daerah yang kaya hasil perikanan ini memikul peran ganda.
Selain menjadi garda pertahanan negara, juga sekaligus harus menjaga ketahanan hidup masyarakatnya sendiri agar tidak bergantung pada daerah lain.
Selama bertahun-tahun, Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), menghadapi tantangan besar dalam pemenuhan pangan. Ketergantungan hampir penuh pada pasokan beras dari luar daerah, hingga menjadi persoalan penting, meski tidak selalu ramai dibicarakan masyarakat.
Dengan kebutuhan sekitar 5.800 ton beras per tahun, Natuna hanya mampu memenuhi sebagian kecil konsumsi dari produksi lokal. Biaya produksi tinggi, minim pendampingan, keterbatasan lahan, serta kurangnya alat dan teknologi, membuat pertanian padi tidak berkembang.
Kini, masa depan cerah pertanian padi, dalam dua tahun terakhir mulai terlihat. Produksi padi meningkat signifikan dan upaya menuju swasembada tidak lagi sekadar rencana, melainkan proses nyata yang sedang berjalan di lapangan.
Lompatan produksi
Natuna memiliki 414 hektare lahan baku sawah, dan 342,63 hektare telah ditetapkan sebagai lahan pertanian berkelanjutan, melalui Peraturan Bupati Nomor 61 Tahun 2024. Kebijakan ini dibuat agar lahan pertanian tidak mudah dialihfungsikan.
Pada 2025, sekitar 30,4 hektare lahan aktif ditanami benih padi dan hasilnya meningkat signifikan. Data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Natuna mencatat produksi padi 2025 naik 53,82 persen dibanding 2024, dari 113,68 ton menjadi 174,86 ton pada Oktober 2025.
Dengan satu kali panen tersisa, total produksi diperkirakan mencapai 200 ton di akhir tahun. Meskipun belum memenuhi kebutuhan daerah, capaian ini menjadi langkah awal yang menjanjikan bagi ketahanan pangan di Natuna.
Kemajuan terjadi berkat kerja terkoordinasi antara petani, penyuluh, pemerintah desa, serta pemerintah daerah dan pusat. Petani lebih aktif mengikuti pendampingan, memanfaatkan lahan tidur, dan mengadopsi praktik pertanian modern, sedangkan pemerintah desa memastikan petani terhubung dengan informasi, bantuan, dan program.
Sementara pemerintah pusat dan daerah membuat regulasi untuk pengadaan sarana dan prasarana pertanian. Pengadaan terbaru yang diberikan oleh pemerintah pusat adalah 78,65 ton pupuk subsidi, terdiri dari 3,55 ton urea dan 75,1 ton NPK.
Pemerintah Kabupaten Natuna juga menambah pasokan berupa 36 ton pupuk NPK serta 44,05 ton kapur dolomit gratis bagi petani. Bantuan ini untuk meningkatkan motivasi dan sebagai dukungan penting menekan biaya produksi. Bantuan pupuk diserahkan kepada petani pada pekan pertama November 2025.
Pilar kedaulatan
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (KPP) Natuna Wan Syazali menegaskan peningkatan produksi prtanian membuktikan lahan sawah padi di daerah itu berpotensi untuk menghasilkan lebih, hanya saja perlu digarap maksimal, dengan bantuan berkelanjutan.
Keberhasilan awal ini penting untuk ketahanan pangan daerah dan kepentingan nasional. Sebagai wilayah perbatasan, Natuna berperan strategis menghadapi tantangan global, termasuk ancaman terhadap jalur distribusi pangan.
Langkah Natuna menuju kemandirian pangan memiliki arti lebih dari sekadar peningkatan produksi. Di tengah situasi geopolitik yang tidak pasti, kemampuan daerah memenuhi kebutuhan sendiri merupakan bagian dari upaya pertahanan negara.
Meski produksi masih jauh dari kebutuhan ideal, namun keberhasilan meningkatkan panen membuktikan Natuna mampu dan kita juga tidak boleh menampik bahwa perjalanan menuju kemandirian memang panjang, namun arah yang ditempuh sudah tepat dan terukur.
Natuna, kini tidak hanya menunggu beras dari luar. Daerah itu sedang menanam masa depan, masa depan ketika warga perbatasan dapat makan dari hasil tanah sendiri dan memperkuat kedaulatan bangsa dari titik terluar Indonesia.
Keberpihakan pemimpin
Di tengah langkah daerah perbatasan, seperti Natuna, mengejar kemandirian pangan, pemerintah pusat terus memberi dorongan baru yang terasa langsung oleh daerah.
Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan kebijakan besar, menurunkan harga pupuk bersubsidi hingga 20 persen. Kebijakan ini menjadi sinyal kuat bahwa negara hadir mendukung petani, terutama mereka yang berada di wilayah paling luar Indonesia.
Bagi petani Natuna yang sedang giat meningkatkan produksi padi, turunnya harga pupuk menjadi angin segar. Selama ini, tingginya biaya produksi menjadi batu sandungan. Pupuk adalah komponen biaya terbesar, dan penurunan harga memberi ruang lebih baik bagi petani untuk mengelola lahan dengan optimal.
Harga sejumlah pupuk subsidi, kini lebih terjangkau. Urea turun dari Rp2.250 per kilogram menjadi Rp1.800. Pupuk NPK dari Rp2.300 per kilogram menjadi Rp1.840. Bagi petani skala kecil, setiap selisih harga berarti tambahan napas untuk terus menanam.
Menurut Perwakilan PT Pupuk Indonesia Wilayah Riau dan Kepulauan Riau Yandika Dwi Reganata, pemerintah resmi menurunkan harga eceran tertinggi (HET) seluruh jenis pupuk bersubsidi sejak 22 Oktober 2025. Kebijakan ini langsung berlaku di seluruh daerah penyaluran.
Pupuk yang disalurkan setelah tanggal tersebut, namun masih menggunakan harga lama akan disesuaikan. Selisih harga akan dikembalikan kepada petani, sesuai HET terbaru, sehingga tidak ada petani yang dirugikan selama masa transisi perubahan harga.
Selain membantu menekan biaya, kebijakan ini memperkuat pesan penting bahwa ada keberpihakan pemimpin terhadap petani dan keseriusan terhadap ketahanan pangan nasional.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Melangkah menuju kemandirian pangan beras di perbatasan

Komentar