Lingga (ANTARA) - Perkebunan sawit di beberapa wilayah di Kepulauan Riau saat ini masih menjadi polemik, oleh pemerintah setempat maupun masyarakat, tanaman penghasil minyak nabati terbesar di dunia ini dianggap sebagai tanaman yang mengancam ekosistem tanaman lainnya.
Meskipun izin perkebunan tersebut sudah diterbitkan oleh pemerintah pusat, namun polemik yang terjadi antara pemangku kepentingan dan pengusaha, membuat tanaman cadangan minyak ini selalu jadi sorotan dan pertentangan, salah satunya karena dianggap dapat menjadi penyebab krisis air, karena tanaman sawit diklaim sebagai tanaman boros air.
Proses ini disebut juga dengan evaporasi dan transpirasi, yaitu proses kehilangan air dari suatu lahan menuju ke atmosfer yang melalui dua proses yang disebut dengan evapotranspirasi yaitu gabungan evaporasi dan transpirasi tumbuhan yang hidup di permukaan bumi.
Evaporasi ini terjadi ketika air yang diubah menjadi uap air, kemudian uap air tersebut dipindahkan dari permukaan lahan melalui proses penguapan ke atmosfer.
Proses ini biasanya terjadi di danau, sungai, lahan pertanian, atau dari vegetasi yang basah. Evaporasi terjadi karena air yang ada di permukaan dipanaskan oleh radiasi matahari sehingga berubah wujud menjadi uap.
Kemudian transpirasi yaitu penguapan air yang berasal dari tanaman sebagai akibat dari adanya proses fotosintesis, yang menghasilkan oksigen dan juga uap air. Proses ini terjadi karena adanya pergerakan air dari dalam tanah menuju pembuluh jaringan yang ada di tanaman.
Kondisi transpirasi dapat dikaitkan dalam beberapa aspek mulai dari mempengaruhi debit pada sungai, kapasitas air pada waduk, kapasitas pompa irigasi, dan penggunaan konsumsi air pada tanaman.
Evapotranspirasi pada sawit
Dalam tulisan yang dibuat oleh Dwi Putro Tejo Baskoro, salah satu dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Divisi konservasi Tanah dan Air, Fakultas Pertanian, IPB menyebutkan bahwa evapotranspirasi tanaman kelapa sawit berkisar antara 1100 – 1700 mm/tahun. (Kelapa Sawit: Benarkah Rakus Air. 2017).
Artinya bahwa, tanaman seperti lamtoro, akasia, dan sengon, lebih rakus air ketimbang tanaman sawit, dan tanaman sawit bukan merupakan tanaman yang rakus air.
Untuk menghasilkan 1 giga joule bioenergi, tanaman kelapa sawit hanya membutuhkan sekitar 75 m3 air, hal ini tentunya jauh lebih rendah dari tanaman rapeseed (bahan baku minyak nabati paling dominan di Eropa) yaitu sebesar 184 m3, kelapa 126 m3, ubi kayu 118 m3, jagung 105 m3, dan kedelai 100 m3 air (Leens, et al, 2008).
Dalam rilis artikel ilmiah yang dimuat di website gapki.id sebuah situs yang dibuat oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dengan judul Water Footprint menyimpulkan tentang penelitian Coaster (1938) yang menyebutkan bahwa kebutuhan air pada kebun kelapa sawit hanya 1.104 mm per tahun.
Di Kabupaten Bintan, tanaman sawit sudah mulai ada sejak tahun 1998 atau sekitar dua puluh tahun yang lalu, dan di sekitar perkebunan sawit juga terdapat banyak perkebunan lainnya yang tumbuh subur.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bintan memiliki luas perkebunan kelapa sawit 1.093 ha dengan produksinya sebesar 1.135 ton, atau sekitar 40 ton dalam seminggu.
Terjadinya kekeringan di Bintan
Pada tahun 2019 yang lalu, Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang yang merupakan satu daratan, sempat mengalami kekeringan yang cukup parah, dan kebetulan salah satu lokasi waduknya berada di dekat dengan kebun sawit milik PT. Tirta Madu.
Kemarau berkepanjangan di wilayah tersebut membuat air di waduk menjadi kering dan PDAM Tirta Kepri sebagai pengelola air bersih di Bintan dan Tanjungpinang, menjadi bulan-bulanan warga saat itu.
Meskipun begitu Plt. Dirut PDAM Tirta Kepri yang kala itu dijabat oleh Syamsul Bahrum, mengungkapkan terjadinya kekeringan di sebagian wilayah Tanjungpinang dan Bintan, bukan diakibatkan dari perkebunan sawit.
Salah satu faktor utama dari kekeringan tersebut, terjadi karena selama ini debit air di Sungai Pulai pada kenyataannya memang sudah tidak mampu menyuplai air untuk memenuhi kebutuhan warga di dua daerah tersebut.
"Pelanggan setiap tahun mengalami kenaikan, sementara waduk kita hanya segitu-segitu saja, tidak ada peningkatan," ujarnya dalam rapat bersama Gubernur Kepri, pada bulan September 2019 yang lalu.
Meskipun pemerintah menurutnya sudah melakukan antisipasi jauh-jauh hari dengan melakukan pembangunan Waduk Kawal, namun masih belum mampu menangani kekeringan yang terjadi di Bintan dan Tanjungpinang.
Salah satu bentuk antisipasi tersebut, adalah dengan pembangunan Waduk Kawal yang sudah selesai dan siap digunakan, namun pengelolaannya masih terkendala dengan anggaran, yaitu untuk pengaliran pompa air dan pipanisasi.
"Untuk bisa memompa air dari Waduk Kawal dan mendistribusikannya, kami butuh dana sekitar Rp30 miliar hingga Rp40 miliar. Kapasitas Waduk Kawal juga lebih besar dibanding yang ada di Gesek. Di Gesek cuma 150 liter/detik, sementara di Kawal 400 liter /detik," terang Syamsul Bahrum.
Cakupan air di Kabupaten Bintan sedikitnya terdapat 117 titik air yang bisa digunakan untuk melayani masyarakat, namun karena keterbatasan anggaran dan pengelolaan PDAM Tirta Kepri yang masih belum maksimal, hal itu membuat pengaliran air ke rumah-rumah warga masih terbatas, dan berakibat pada kekeringan akibat kemarau berkepanjangan.
Selain itu kekeringan yang terjadi juga disebabkan oleh banyaknya lahan perumahan, yang saat ini digunakan warga untuk pemukiman. Hal tersebut tentu saja memicu terjadi pengurangan debit air, karena lahan yang seharusnya ditumbuhi tanaman saat ini sudah banyak yang ditebang dan dijadikan lahan perumahan di sekitar waduk.
Dari beberapa kesimpulan penyebab terjadi kekeringan tersebut, adanya perkebunan sawit yang sudah puluhan tahun berdiri di wilayah tersebut, sampai saat ini belum terbukti sebagai salah satu penyebab kekeringan yang terjadi di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang, yang merupakan ibukota Provinsi Kepri.
Mitos sawit boros air
Dari beberapa sumber di atas, terlihat fakta bawah tanaman sawit boros air terbantahkan dengan beberapa fakta penelitian yang dirilis beberapa ilmuwan dan peneliti dalam maupun luar negeri.
Persentase intersepsi pada tegakan kelapa sawit memiliki nilai sebesar 21.23 % dari curah hujan. Evapotranspirasi di perkebunan kelapa sawit berkisar 68.23-125.63 mm/bulan, dengan rata-rata sebesar 92.05 mm/bulan atau setara dengan 1.104,5 mm/tahun.
Hal tersebut tentunya membuktikan bahwa kebutuhan air tanaman kelapa sawit lebih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan air pada tanaman kelapa dan tanaman hutan seperti pinus, akasia, sengon, karet dan jati.
Profesor Suria Darma Tarigan, dari Institut Pertanian Bogor mengatakan dalam penelitian terbaru ada beberapa aspek penelitian yang dilakukan tentang tanaman kelapa sawit, baik dari aspek ekologi dan ekonomi yang melibatkan banyak penulis. Selain itu penelitian juga dilakukan dengan mengedepankan natural capital (modal alam) untuk keberlangsungan alam sekitar.
"Dari penelitian yang kita lakukan dengan melibatkan banyak ilmuwan dari berbagai negara, isu sawit boros air dan tingginya karbon, hanyalah mitos," ujarnya.
Daerah kepulauan yang memiliki luas lautannya, lebih luas dari luas daratannya tidak serta merta harus mengedepankan sektor perikanan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Pertanian dan perkebunan menjadi salah satu hal penting yang harus dilakukan untuk peningkatan sektor ekonomi, kultur alam daerah perbukitan di beberapa wilayah Kepulauan Riau merupakan salah satu potensi yang sangat baik bagi tanaman sawit.
Dengan melakukan penelitian yang memanfaatkan sumber daya, dan peralatan teknologi yang canggih, penelitian tersebut tentu harus benar-benar valid dan didukung dengan data yang akurat.
"Riset yang reliabilitas, yaitu sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama," sebutnya.
Perkebunan kelapa sawit tidak hanya di Kabupaten Bintan, di beberapa daerah di Kepulauan Riau, seperti di Kota Batam, Kabupaten Natuna dan Kabupaten Lingga, sudah terdapat pengajuan izin lahan untuk perkebunan kelapa sawit, namun masih terdapat gesekan antara investor kelapa sawit dengan pemerintah setempat.
Dari tiga daerah tersebut, di Kota Batam, saat ini kebun kelapa sawit meskipun sudah mendapat lahan namun masih terkendala izin dari pemerintah setempat dan adanya tumpang tindih kewenangan, kemudian di Kabupaten Natuna, saat ini juga masih terdapat gesekan politik yang menolak adanya kebun kelapa sawit.
Di Kabupaten Lingga, PT Cipta Sugi Aditnya sudah pernah mendapatkan izin dari Gubernur Kepri yang kala itu dijabat Nurdin Basirun, namun izin tersebut ditangkal oleh pemerintah Kabupaten Lingga, dan tetap menolak keberadaan investasi kelapa sawit di Kabupaten Lingga. Waktu itu Bupati Lingga Alias Wello dengan tegas menolak pembukaan areal untuk perkebunan sawit.
"Jadi ditegaskan sekali lagi, kami tetap menolak keberadaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Lingga," ujar Bupati Lingga .
Alasan penolakan pemerintah Kabupaten Lingga salah satunya adalah karena dianggap kelapa sawit dapat merusak ekosistem lainnya, karena dinilai boros air dan bertentangan dengan instruksi presiden.
Meskipun izin perkebunan tersebut sudah diterbitkan oleh pemerintah pusat, namun polemik yang terjadi antara pemangku kepentingan dan pengusaha, membuat tanaman cadangan minyak ini selalu jadi sorotan dan pertentangan, salah satunya karena dianggap dapat menjadi penyebab krisis air, karena tanaman sawit diklaim sebagai tanaman boros air.
Proses ini disebut juga dengan evaporasi dan transpirasi, yaitu proses kehilangan air dari suatu lahan menuju ke atmosfer yang melalui dua proses yang disebut dengan evapotranspirasi yaitu gabungan evaporasi dan transpirasi tumbuhan yang hidup di permukaan bumi.
Evaporasi ini terjadi ketika air yang diubah menjadi uap air, kemudian uap air tersebut dipindahkan dari permukaan lahan melalui proses penguapan ke atmosfer.
Proses ini biasanya terjadi di danau, sungai, lahan pertanian, atau dari vegetasi yang basah. Evaporasi terjadi karena air yang ada di permukaan dipanaskan oleh radiasi matahari sehingga berubah wujud menjadi uap.
Kemudian transpirasi yaitu penguapan air yang berasal dari tanaman sebagai akibat dari adanya proses fotosintesis, yang menghasilkan oksigen dan juga uap air. Proses ini terjadi karena adanya pergerakan air dari dalam tanah menuju pembuluh jaringan yang ada di tanaman.
Kondisi transpirasi dapat dikaitkan dalam beberapa aspek mulai dari mempengaruhi debit pada sungai, kapasitas air pada waduk, kapasitas pompa irigasi, dan penggunaan konsumsi air pada tanaman.
Evapotranspirasi pada sawit
Dalam tulisan yang dibuat oleh Dwi Putro Tejo Baskoro, salah satu dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Divisi konservasi Tanah dan Air, Fakultas Pertanian, IPB menyebutkan bahwa evapotranspirasi tanaman kelapa sawit berkisar antara 1100 – 1700 mm/tahun. (Kelapa Sawit: Benarkah Rakus Air. 2017).
Artinya bahwa, tanaman seperti lamtoro, akasia, dan sengon, lebih rakus air ketimbang tanaman sawit, dan tanaman sawit bukan merupakan tanaman yang rakus air.
Untuk menghasilkan 1 giga joule bioenergi, tanaman kelapa sawit hanya membutuhkan sekitar 75 m3 air, hal ini tentunya jauh lebih rendah dari tanaman rapeseed (bahan baku minyak nabati paling dominan di Eropa) yaitu sebesar 184 m3, kelapa 126 m3, ubi kayu 118 m3, jagung 105 m3, dan kedelai 100 m3 air (Leens, et al, 2008).
Dalam rilis artikel ilmiah yang dimuat di website gapki.id sebuah situs yang dibuat oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dengan judul Water Footprint menyimpulkan tentang penelitian Coaster (1938) yang menyebutkan bahwa kebutuhan air pada kebun kelapa sawit hanya 1.104 mm per tahun.
Di Kabupaten Bintan, tanaman sawit sudah mulai ada sejak tahun 1998 atau sekitar dua puluh tahun yang lalu, dan di sekitar perkebunan sawit juga terdapat banyak perkebunan lainnya yang tumbuh subur.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bintan memiliki luas perkebunan kelapa sawit 1.093 ha dengan produksinya sebesar 1.135 ton, atau sekitar 40 ton dalam seminggu.
Terjadinya kekeringan di Bintan
Pada tahun 2019 yang lalu, Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang yang merupakan satu daratan, sempat mengalami kekeringan yang cukup parah, dan kebetulan salah satu lokasi waduknya berada di dekat dengan kebun sawit milik PT. Tirta Madu.
Kemarau berkepanjangan di wilayah tersebut membuat air di waduk menjadi kering dan PDAM Tirta Kepri sebagai pengelola air bersih di Bintan dan Tanjungpinang, menjadi bulan-bulanan warga saat itu.
Meskipun begitu Plt. Dirut PDAM Tirta Kepri yang kala itu dijabat oleh Syamsul Bahrum, mengungkapkan terjadinya kekeringan di sebagian wilayah Tanjungpinang dan Bintan, bukan diakibatkan dari perkebunan sawit.
Salah satu faktor utama dari kekeringan tersebut, terjadi karena selama ini debit air di Sungai Pulai pada kenyataannya memang sudah tidak mampu menyuplai air untuk memenuhi kebutuhan warga di dua daerah tersebut.
"Pelanggan setiap tahun mengalami kenaikan, sementara waduk kita hanya segitu-segitu saja, tidak ada peningkatan," ujarnya dalam rapat bersama Gubernur Kepri, pada bulan September 2019 yang lalu.
Meskipun pemerintah menurutnya sudah melakukan antisipasi jauh-jauh hari dengan melakukan pembangunan Waduk Kawal, namun masih belum mampu menangani kekeringan yang terjadi di Bintan dan Tanjungpinang.
Salah satu bentuk antisipasi tersebut, adalah dengan pembangunan Waduk Kawal yang sudah selesai dan siap digunakan, namun pengelolaannya masih terkendala dengan anggaran, yaitu untuk pengaliran pompa air dan pipanisasi.
"Untuk bisa memompa air dari Waduk Kawal dan mendistribusikannya, kami butuh dana sekitar Rp30 miliar hingga Rp40 miliar. Kapasitas Waduk Kawal juga lebih besar dibanding yang ada di Gesek. Di Gesek cuma 150 liter/detik, sementara di Kawal 400 liter /detik," terang Syamsul Bahrum.
Cakupan air di Kabupaten Bintan sedikitnya terdapat 117 titik air yang bisa digunakan untuk melayani masyarakat, namun karena keterbatasan anggaran dan pengelolaan PDAM Tirta Kepri yang masih belum maksimal, hal itu membuat pengaliran air ke rumah-rumah warga masih terbatas, dan berakibat pada kekeringan akibat kemarau berkepanjangan.
Selain itu kekeringan yang terjadi juga disebabkan oleh banyaknya lahan perumahan, yang saat ini digunakan warga untuk pemukiman. Hal tersebut tentu saja memicu terjadi pengurangan debit air, karena lahan yang seharusnya ditumbuhi tanaman saat ini sudah banyak yang ditebang dan dijadikan lahan perumahan di sekitar waduk.
Dari beberapa kesimpulan penyebab terjadi kekeringan tersebut, adanya perkebunan sawit yang sudah puluhan tahun berdiri di wilayah tersebut, sampai saat ini belum terbukti sebagai salah satu penyebab kekeringan yang terjadi di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang, yang merupakan ibukota Provinsi Kepri.
Mitos sawit boros air
Dari beberapa sumber di atas, terlihat fakta bawah tanaman sawit boros air terbantahkan dengan beberapa fakta penelitian yang dirilis beberapa ilmuwan dan peneliti dalam maupun luar negeri.
Persentase intersepsi pada tegakan kelapa sawit memiliki nilai sebesar 21.23 % dari curah hujan. Evapotranspirasi di perkebunan kelapa sawit berkisar 68.23-125.63 mm/bulan, dengan rata-rata sebesar 92.05 mm/bulan atau setara dengan 1.104,5 mm/tahun.
Hal tersebut tentunya membuktikan bahwa kebutuhan air tanaman kelapa sawit lebih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan air pada tanaman kelapa dan tanaman hutan seperti pinus, akasia, sengon, karet dan jati.
Profesor Suria Darma Tarigan, dari Institut Pertanian Bogor mengatakan dalam penelitian terbaru ada beberapa aspek penelitian yang dilakukan tentang tanaman kelapa sawit, baik dari aspek ekologi dan ekonomi yang melibatkan banyak penulis. Selain itu penelitian juga dilakukan dengan mengedepankan natural capital (modal alam) untuk keberlangsungan alam sekitar.
"Dari penelitian yang kita lakukan dengan melibatkan banyak ilmuwan dari berbagai negara, isu sawit boros air dan tingginya karbon, hanyalah mitos," ujarnya.
Daerah kepulauan yang memiliki luas lautannya, lebih luas dari luas daratannya tidak serta merta harus mengedepankan sektor perikanan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Pertanian dan perkebunan menjadi salah satu hal penting yang harus dilakukan untuk peningkatan sektor ekonomi, kultur alam daerah perbukitan di beberapa wilayah Kepulauan Riau merupakan salah satu potensi yang sangat baik bagi tanaman sawit.
Dengan melakukan penelitian yang memanfaatkan sumber daya, dan peralatan teknologi yang canggih, penelitian tersebut tentu harus benar-benar valid dan didukung dengan data yang akurat.
"Riset yang reliabilitas, yaitu sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama," sebutnya.
Perkebunan kelapa sawit tidak hanya di Kabupaten Bintan, di beberapa daerah di Kepulauan Riau, seperti di Kota Batam, Kabupaten Natuna dan Kabupaten Lingga, sudah terdapat pengajuan izin lahan untuk perkebunan kelapa sawit, namun masih terdapat gesekan antara investor kelapa sawit dengan pemerintah setempat.
Dari tiga daerah tersebut, di Kota Batam, saat ini kebun kelapa sawit meskipun sudah mendapat lahan namun masih terkendala izin dari pemerintah setempat dan adanya tumpang tindih kewenangan, kemudian di Kabupaten Natuna, saat ini juga masih terdapat gesekan politik yang menolak adanya kebun kelapa sawit.
Di Kabupaten Lingga, PT Cipta Sugi Aditnya sudah pernah mendapatkan izin dari Gubernur Kepri yang kala itu dijabat Nurdin Basirun, namun izin tersebut ditangkal oleh pemerintah Kabupaten Lingga, dan tetap menolak keberadaan investasi kelapa sawit di Kabupaten Lingga. Waktu itu Bupati Lingga Alias Wello dengan tegas menolak pembukaan areal untuk perkebunan sawit.
"Jadi ditegaskan sekali lagi, kami tetap menolak keberadaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Lingga," ujar Bupati Lingga .
Alasan penolakan pemerintah Kabupaten Lingga salah satunya adalah karena dianggap kelapa sawit dapat merusak ekosistem lainnya, karena dinilai boros air dan bertentangan dengan instruksi presiden.