Tanjungpinang (ANTARANews Kepri) - Dinas Kesehatan mencatat Provinsi Kepulauan Riau potensial diserang wabah virus Maesles dan Rubella (MR), karena hampir 40 persen warga belum diberi vaksin.
Kepala Dinkes Kepri Tjetjep Yudiana, di Tanjungpinang, Jumat mengatakan, jumlah warga yang wajib diberikan vaksin MR sebanyak 630 orang (usia 9 bulan-15 tahun), namun selama tahun 2018 hanya 61,06 persen yang sudah disuntik imunisasi tersebut.
"Ya, sangat potensial Kepri menjadi wabah campak dan rubella. Kami bukan menakut-nakuti, tetapi berdasarkan data hasil imunisasi MR jauh di bawah target," katanya.
Ia menyontohkan imunisasi campak beberapa tahun lalu mencapai 95 persen di Kepri, namun secara sporadis masih banyak warga yang terjangkit campak. Setelah ditelusuri, ternyata warga yang terjangkit campak tersebut adalah prang yang menolak diberi vaksin campak sebelumnya.
"Bagaimana dengan virus MR yang mengancam dunia saat ini? Ancaman itu bukan hal biasa karena potensial masuk Kepri karena ada 39 persen orang yang belum diberi vaksin MR," ujarnya.
Tjetjep mengatakan wabah virus MR akan menghantui Kepri selama 15-20 tahun mendatang jika masih ada warga yang menolak diberikan vaksin tersebut. Saat ini tidak ada pilihan lain untuk mencegah virus MR, selain vaksin MR yang mengandung bahan haram.
"Ada kalimat berulang-ulang disampaikan sejumlah pihak, yang saya pikir berbahaya, seperti lebih baik terkena virus MR, daripada disuntik vaksin haram. Saya pikir persoalan itu sudah tuntas setelah MUI memutuskan tidak apa-apa diberi vaksin MR selagi belum ada pilihan lain," ucapnya.
Untuk mendapatkan pilihan lain itu, harus menunggu 15-20 tahun mendatang. Selama itu pula bangsa Indonesia harus siap melihat generasi muda mendatang yang potensial mengalami kecacatan akibat terserang virus MR.
"Apakah kita siap melihat generasi muda kita memiliki otak mengecil, buta, dan tuli? Padahal kita harus berpikir, berusaha bersama-sama agar tidak ada lagi anak-anak kita masuk Sekolah Luar Biasa," katanya.
Tjetjep mengatakan vaksinasi MR telah dihentikan sejak 31 Desember 2018. Kemungkinan kebijakan itu akan diperpanjang pemerintah pusat.
Sebagai bahan evaluasi, kata dia, persoalan mendasar yang terjadi di Kepri terkait ketidakpercayaan kelompok tertentu terhadap vaksin MR, dan dorongan dari aparat pemerintahan di tingkat kecamatan, kelurahan dan pedesaan yang masih rendah. Masih banyak pula kepala sekolah dan guru yang menolak imunisasi MR sehingga petugas tidak dapat memberikan vaksin itu kepada pelajar.
"Pernah dengan camat, lurah, kades bersama-sama mendorong warga untuk diimunisasi MR? Saya pikir sangat jarang kita dengar," katanya.
Dinkes Kepri, menurut dia tidak memiliki kapasitas untuk mempengaruhi warga agar bersedia disuntik vaksin MR. Petugas Dinkes Kepri hanya mampu menjelaskan persoalan teknis dan melakukan pekerjaan teknis.
"Dinkes itu hanya subsistem, yang hanya mampu untuk urusan teknis. Yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi itu aparat yang dekat dengan warga, tokoh masyarakat dan tokoh agama," tuturnya.
Kepala Dinkes Kepri Tjetjep Yudiana, di Tanjungpinang, Jumat mengatakan, jumlah warga yang wajib diberikan vaksin MR sebanyak 630 orang (usia 9 bulan-15 tahun), namun selama tahun 2018 hanya 61,06 persen yang sudah disuntik imunisasi tersebut.
"Ya, sangat potensial Kepri menjadi wabah campak dan rubella. Kami bukan menakut-nakuti, tetapi berdasarkan data hasil imunisasi MR jauh di bawah target," katanya.
Ia menyontohkan imunisasi campak beberapa tahun lalu mencapai 95 persen di Kepri, namun secara sporadis masih banyak warga yang terjangkit campak. Setelah ditelusuri, ternyata warga yang terjangkit campak tersebut adalah prang yang menolak diberi vaksin campak sebelumnya.
"Bagaimana dengan virus MR yang mengancam dunia saat ini? Ancaman itu bukan hal biasa karena potensial masuk Kepri karena ada 39 persen orang yang belum diberi vaksin MR," ujarnya.
Tjetjep mengatakan wabah virus MR akan menghantui Kepri selama 15-20 tahun mendatang jika masih ada warga yang menolak diberikan vaksin tersebut. Saat ini tidak ada pilihan lain untuk mencegah virus MR, selain vaksin MR yang mengandung bahan haram.
"Ada kalimat berulang-ulang disampaikan sejumlah pihak, yang saya pikir berbahaya, seperti lebih baik terkena virus MR, daripada disuntik vaksin haram. Saya pikir persoalan itu sudah tuntas setelah MUI memutuskan tidak apa-apa diberi vaksin MR selagi belum ada pilihan lain," ucapnya.
Untuk mendapatkan pilihan lain itu, harus menunggu 15-20 tahun mendatang. Selama itu pula bangsa Indonesia harus siap melihat generasi muda mendatang yang potensial mengalami kecacatan akibat terserang virus MR.
"Apakah kita siap melihat generasi muda kita memiliki otak mengecil, buta, dan tuli? Padahal kita harus berpikir, berusaha bersama-sama agar tidak ada lagi anak-anak kita masuk Sekolah Luar Biasa," katanya.
Tjetjep mengatakan vaksinasi MR telah dihentikan sejak 31 Desember 2018. Kemungkinan kebijakan itu akan diperpanjang pemerintah pusat.
Sebagai bahan evaluasi, kata dia, persoalan mendasar yang terjadi di Kepri terkait ketidakpercayaan kelompok tertentu terhadap vaksin MR, dan dorongan dari aparat pemerintahan di tingkat kecamatan, kelurahan dan pedesaan yang masih rendah. Masih banyak pula kepala sekolah dan guru yang menolak imunisasi MR sehingga petugas tidak dapat memberikan vaksin itu kepada pelajar.
"Pernah dengan camat, lurah, kades bersama-sama mendorong warga untuk diimunisasi MR? Saya pikir sangat jarang kita dengar," katanya.
Dinkes Kepri, menurut dia tidak memiliki kapasitas untuk mempengaruhi warga agar bersedia disuntik vaksin MR. Petugas Dinkes Kepri hanya mampu menjelaskan persoalan teknis dan melakukan pekerjaan teknis.
"Dinkes itu hanya subsistem, yang hanya mampu untuk urusan teknis. Yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi itu aparat yang dekat dengan warga, tokoh masyarakat dan tokoh agama," tuturnya.