Batam (ANTARA) - Program Jaksa Masuk Sekolah (JMS) Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) bermanfaat dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan kesadaran hukum bagi pelajar ataupun tenaga pendidikan, salah satu upaya mencegah penyalahgunaan narkoba dan perudungan (bullying).
“Penyelenggaraan Program Jaksa Masuk Sekolah Kejaksaan Tinggi Kepri sengat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kesadaran hukum bagi pelajar ataupun tenaga pendidikan,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kepri Yusnar Yusuf dikonfirmasi di Batam, Senin.
Dia menjelaskan JMS merupakan penyuluhan hukum program pembinaan masyarakat taat hukum (Binmatukum) Kejati Kepri, dan pekan ini berlangsung di SMA Negeri 1 dan SMK Negeri 1 Bintan Timur.
Yusnar mengatakan kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka pembentukan revolusi mental karakter dan peningkatan kesadaran hukum anak bangsa selaku generasi penerus.
“JMS ini bertujuan memberikan pengenalan dan pemahaman mengenai pengetahuan hukum sejak dini kepada para siswa atau peserta didik di tingkat sekolah menengah atas,” ujarnya.
Dalam kegiatan ini para siswa mendapatkan pemaparan terkait narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza). Dijelaskan perbedaan antara narkotika dan psikotropika.
Dia menjelaskan narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Sedangkan psikotropika merupakan zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Pada Kesempatan itu, para pelajar juga dikenalkan aturan hukum yang mengatur keduanya, seperti pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan narkotika terdiri atas golongan I, contohnya ganja, opium, sabu, pil extasi, dan lainnya.
Sedangkan narkotika golongan II, yakni morfin, peditin, alfaprodina dan golongan III yakni codein dan lainnya. Selanjutnya, psikotropika golongan I, yakni DMA, MDMA, dan meskalin. Lalu, golongan II, yakni afetamin, metakulon. Kmeudian golongan III, antara lain flunitrazepam, pentobarbital, serta golongan IV, yakni diazepam, fenobarbital dan lain-lain.
“Dampak narkoba merusak organ tubuh, masa depan suram, pidana penjara hingga vonis mati, perubahan sikap dan mental, berpotensi terjerumus tindak kriminal hingga kematian akibat overdosis,” katanya.
Dia menjelaskan kepada siswa terkait makna setiap unsur-unsur pasal pidana beserta ancaman hukuman pada ketentuan pidana UU Nomor 35 Tahun 2009, khususnya Bab XV dari Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 dengan ancaman pidana yang sangat berat hingga hukuman mati.
Dengan pemahaman ini, kata dia, sehingga para siswa dapat mengetahui bahwa ancaman hukuman pidana bagi setiap yang melakukan tindak pidana narkotika sangat berat.
“Diharapkan para siswa dapat menghindari dari perbuatan yang melanggar hukum,” ujar Yusnar.
Para siswa juga dijelaskan tentang ketentuan pelaksanaan rehabilitasi bagi korban penyalahguna narkotika, peran masyarakat, peran pemerintah dan upaya penanggulangan narkotika.
Selain soal narkoba, para siswa juga dipaparkan materi tentang perudungan atau bullying, yakni perilaku agresif dan negatif seseorang atau sekelompok orang secara berulang kali dengan menyalahgunakan ketidakseimbangan kekuatan untuk menyakiti korban secara mental, fisik maupun seksual.
Dia juga menjelaskan ancaman yang dilakukan sekali saja, tetapi jika membuat korban merasa ketakutan secara permanen, juga merupakan perudungan.
“Ada beberapa penyebab terjadi perudungan kepada korban karena dianggap berbeda, dianggap lemah, memiliki rasa percaya diri yang rendah, kurang populer, tidak memiliki banyak teman,” katanya.
Adapun dampak dari perudungan bagi pelaku akan memiliki rasa percaya diri tinggi, bersifat agresif berwatak keras, tidak bisa berkonsentrasi belajar karena pikirannya lebih banyak untuk mengincar dan merencanakan tindakan berikutnya.
Sedangkan dampak bagi korban, yakni merasa depresi, marah, rendahnya kehadiran, menurunkan intensitas pergi ke sekolah karena merasa cemas dan takut, menurunnya prestasi kerja.
Yusnar menyebut perudungan bisa terjadi karena adanya kesempatan untuk terjadinya bullying adanya ada yang merasa dominan atau memiliki harga diri yang rendah di sekolah dan memiliki karakter agresif, bisa disebabkan karena pengalaman atau pola asuh keluarga yang kurang sesuai, minimnya pengawasan dan rendahnya kepedulian sekolah terhadap perilaku siswa-siswa.
“Juga karena lingkungan sekolah yang mendukung tumbuh suburnya premanisme di sekolah, misalnya geng atau kelompok yang tidak terorganisir dan tidak mempunyai tujuan yang jelas,” kata Yusnar.
Komentar