Tanjungpinang (ANTARA) - Gedung Daerah, dahulu dan sekarang, menyimpan kisah yang berbeda.
Puluhan tahun lalu hingga terpisahnya Provinsi Kepulauan Riau dari Riau, gedung kokoh berwarna putih yang berada persis di seberang Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang seperti tempat yang sakral.
Tiga gubernur definitif, mulai dari S.M Amin Nasution, Ismeth Abdullah dan H.M Sani menjadikan Gedung Daerah sebagai tempat penting. Karena itu, di gedung ini hanya ada pertemuan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan tamu-tamu kehormatan pemerintah.
Kegiatan selain pemerintahan yang diselenggarakan di Gedung Daerah pun terbatas, hanya berhubungan dengan seni kebudayaan, sosial kemasyarakatan dan keagamaan.
Kondisi itu berubah drastis ketika Nurdin Basirun menjabat sebagai Gubernur Kepri. Nurdin membuka akses seluas-luasnya kepada berbagai elemen masyarakat untuk menyelenggarakan kegiatan di Gedung Daerah. Bahkan pentas konser musik yang tidak mencerminkan budaya melayu pun diselenggarakan di Gedung Daerah. Nurdin seakan-akan ingin menciptakan Gedung Daerah sebagai "rumah rakyat".
Dalam catatan sejarah terpenting, Gedung Daerah seolah-olah menjadi saksi penentuan sikap masyarakat Kepulauan Riau apakah bergabung dengan Indonesia atau Singapura. Pilihan itu terjadi setelah empat tahun Indonesia merdeka.
Imam Sudrajat, pria kelahiran Jakarta 9 November 1939, merupakan salah seorang tokoh masyarakat Kepulauan Riau yang mengetahui sejarah itu. Beberapa tahun sebelum wafat, Antara berkesempatan mewawancarainya tiga hari sebelum HUT RI empat tahun lalu.
Semasa hidupnya, Imam enggan menyingkat Kepulauan Riau menjadi Kepri, dengan alasan wilayah ini diperjuangkan dengan susah payah agar masuk Indonesia berdasarkan sejarah nusantara.
Almarhum tinggal di Tanjungpinang saat berusia 24 tahun, pernah bertugas di Komando Operasi Tertinggi Operasi A Angkatan Darat.
"Saya ke Tanjungpinang karena mendapat tugas mengusir penjajah Inggris dari Kepulauan Riau," katanya kala itu.
Meski sudah berusia lanjut, dia masih mampu menceritakan dengan detail peristiwa bersejarah ketika pertama kali bendera merah putih berkibar di Tanjungpinang. Orang yang mengerek bendera merah putih di depan Gedung Daerah Tanjungpinang yakni Mochtar Husein.
"Dia (Mochtar Husein) paman saya. Pelaku sejarah kedaulatan Indonesia di Tanjungpinang," tuturnya.
Ketua Dewan Penasehat Veteran Kepulauan Riau itu mengatakan Kepulauan Riau masuk ke dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan pada tahun 1945.
Mochtar Husein salah seorang pejuang yang memperjuangkan Kepulauan Riau masuk Indonesia. Saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Riau.
Ketika itu, Mochtar dan Tengku Saleh asal Lingga, melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa masyarakat Kepulauan Riau ingin menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1949.
Saat itu, sebagian masyarakat menginginkan Kepulauan Riau masuk ke Singapura, yang saat itu dijajah Inggris.
Kepulauan Riau dijajah Inggris berdasarkan kesepakatan antara negara itu dengan negara penjajah Belanda. Kepulauan Riau yang sebelumnya dijajah Belanda beralih menjadi wilayah yang dijajah Inggris.
"Ada tarik ulur keinginan, antara masuk wilayah kedaulatan Indonesia atau menjadi bagian dari Singapura. Dua-duanya memiliki alasan yang kuat," tuturnya.
Keinginan untuk menyerahkan Kepulauan Riau sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia berdasarkan sejarah nusantara. Sedangkan keinginan untuk menjadi bagian dari Singapura lantaran negara berlambangkan kepala singa itu satu rumpun dengan Kepulauan Riau.
"Singapura dekat dengan Kepulauan Riau dan sama-sama bekas jajahan Inggris," ucapnya.
Di tengah tarik ulur keinginan itu, Mochtar bersama rekan-rekan seperjuangannya memberanikan diri, mendesak Kepulauan Riau masuk dalam wilayah kedaulatan NKRI. Keinginan itu mendapat dukungan penuh dari Presiden Soekarno.
Untuk melahirkan sejarah yang mirip dengan pengibaran Sangsaka Merah Putih pertama di NKRI, bendera merah putih dijahit oleh Rahma binti Rahmat dan Uni Daiya.
"Rahma itu mertua saya, sedangkan Uni Daiya, warga Tepi Laut Tanjungpinang yang memiliki semangat perjuangan yang sama," ucapnya.
Seusai dijahit, bendera merah putih berkibar di sebuah rumah yang berada di depan Gedung Daerah pada tahun 1949.
Bendera itu dikibarkan di atas tiang yang berada di pojok sebelah kanan rumah tersebut. Rumah itu sudah digusur, karena terkesan kumuh berada di pusat kota.
Sedangkan pondasi tiang bendera bergeser setelah Pemerintah Kota Tanjungpinang membangun Tugu Proklamasi.
Tugu Proklamasi itu dibangun saat Suryatati A Manan menjabat sebagai Wali Kota Tanjungpinang.
"Pondasi bendera berada di depan Tugu Proklamasi. Sebenarnya, tidak bisa dikatakan Tugu Proklamasi, karena penyerahan kedaulatan dilakukan pada tahun 1949, bukan 1945. Tapi tidak apa-apa, kalau hanya sekadar untuk mengingat," katanya.
Tidak banyak masyarakat yang mengetahui di sekitar Tugu Proklamasi itu menyimpan sejarah Kepulauan Riau bergabung dengan Indonesia. Mereka mungkin mengira Kepulauan Riau menjadi bagian dari Indonesia sama seperti wilayah lainnya.
"Jangan lupakan sejarah. Sejarah itu harus diingat, disampaikan dengan benar kepada generasi muda," ucapnya.
Petaka
Rabu, 10 Juli 2019 beberapa saat setelah azan memanggil umat Islam untuk salat magrib, kabar buruk mengudara begitu cepat. Berbagai informasi deras mengalir di ponsel yang ingin memastikan apakah benar Gubernur Kepri Nurdin Basirun ditangkap KPK.
Informasi itu ternyata benar, Nurdin ditangkap di rumah dinas yang berada di sebelah Gedung Daerah. Nurdin ditangkap beberapa saat setelah tiba di Gedung Daerah setelah seharian mengikuti acara HUT Bhayangkara di Polda Kepri di Batam.
Nurdin sempat diperiksa beberapa saat sebelum dibawa ke Polres Tanjungpinang. Rumah dinas itu kemudian disegel petugas KPK.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kepri, Nilwan ikut diseret petugas KPK gara-gara membawa durian untuk Nurdin. Ia tidak mengetahui KPK menangkap Nurdin.
"Saat kejadian (Rabu dua pekan lalu) saya bawa satu kardus durian dan dokumen, bukan bawa uang, tetapi saya ikut terseret karena masuk ke Gedung Daerah," kata Nilwan.
Ia pun sempat ketakutan ketika disergap beberapa anggota KPK yang bergerak cepat dari tangga samping rumah dinas Nurdin. "Saya sempat bingung, tidak tahu harus berbuat apa, karena kaget," katanya setelah sempat diperiksa sebagai saksi selama sehari di Polres Tanjungpinang dan Gedung KPK.
Di Polres Tanjungpinang baru diketahui Nurdin ditangkap setelah KPK menangkap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau, Edi Sofyan, dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap di dinas itu, Budi Hartono. Ketiganya diduga terlibat dalam kasus dugaan gratifikasi pemberian ijin prinsip reklamasi di salah satu kawasan di Tanjung Piayu, Batam. Pemberi uang itu yakni Abu Bakar, namun setelah ditelusuri ternyata dia bekerja sebagai nelayan.
KPK sampai saat ini masih menelusuri sumber uang tersebut, dan telah memeriksa sejumlah pengusaha, salah satunya Kok Meng.
Sehari setelah menetapkan Nurdin, Edy, Budi dan Abu Bakar sebagai tersangka, KPK kembali melakukan gebrakan yakni menggeledah rumah dinas Nurdin di Gedung Daerah. Di rumah dinas ini, petugas menemukan dokumen, uang Rp 132.610.000 dalam sebuah tas,
43.942 dolar Singapura, 5.303 dolar Amerika Serikat, 5 euro, 407 ringgit Malaysia, dan 500 riyal Arab Saudi.
Uang itu disimpan dalam tas dan kardus, kata juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Pekan lalu, petugas KPK juga menggeledah sejumlah dinas seperti Dinas Perhubungan Kepri, Dinas ESDM dan Dinas PTSP Kepri. Dari penggeledahan ini, KPK menyita sejumlah dokumen yang berhubungan dengan kasus gratifikasi yang menjeray Nurdin Basirun.
Andi Nasrun, kuasa hukum Gubernur nonaktif Nurdin Basirun mengatakan kliennya dalam kondisi sehat.
"Teman-temannya belum boleh menjenguk, masih menunggu ijin dari KPK," katanya.
Ia mempertimbangkan untuk menjadi "justice collaborator".
"Yang penting sampai sekarang dia masih proaktif. Dengan sikap itu, 'kan hasilnya sama menjadi justice collaborator," kata Andi.
Ia memastikan Nurdin berkomitmen untuk kooperatif. Itu dibuktikan Nurdin selama diperiksa penyidik KPK.
"Selama pemeriksaan Nurdin kooperatif," ucapnya.
Andi tidak ingin menjawab berbagai pertanyaan terkait proses hukum yang dilalui Nurdin.
"Kami menunggu perkembangan proses penyidikan di Batam dan Tanjungpinang yang masih berjalan," katanya.
Puluhan tahun lalu hingga terpisahnya Provinsi Kepulauan Riau dari Riau, gedung kokoh berwarna putih yang berada persis di seberang Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang seperti tempat yang sakral.
Tiga gubernur definitif, mulai dari S.M Amin Nasution, Ismeth Abdullah dan H.M Sani menjadikan Gedung Daerah sebagai tempat penting. Karena itu, di gedung ini hanya ada pertemuan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan tamu-tamu kehormatan pemerintah.
Kegiatan selain pemerintahan yang diselenggarakan di Gedung Daerah pun terbatas, hanya berhubungan dengan seni kebudayaan, sosial kemasyarakatan dan keagamaan.
Kondisi itu berubah drastis ketika Nurdin Basirun menjabat sebagai Gubernur Kepri. Nurdin membuka akses seluas-luasnya kepada berbagai elemen masyarakat untuk menyelenggarakan kegiatan di Gedung Daerah. Bahkan pentas konser musik yang tidak mencerminkan budaya melayu pun diselenggarakan di Gedung Daerah. Nurdin seakan-akan ingin menciptakan Gedung Daerah sebagai "rumah rakyat".
Dalam catatan sejarah terpenting, Gedung Daerah seolah-olah menjadi saksi penentuan sikap masyarakat Kepulauan Riau apakah bergabung dengan Indonesia atau Singapura. Pilihan itu terjadi setelah empat tahun Indonesia merdeka.
Imam Sudrajat, pria kelahiran Jakarta 9 November 1939, merupakan salah seorang tokoh masyarakat Kepulauan Riau yang mengetahui sejarah itu. Beberapa tahun sebelum wafat, Antara berkesempatan mewawancarainya tiga hari sebelum HUT RI empat tahun lalu.
Semasa hidupnya, Imam enggan menyingkat Kepulauan Riau menjadi Kepri, dengan alasan wilayah ini diperjuangkan dengan susah payah agar masuk Indonesia berdasarkan sejarah nusantara.
Almarhum tinggal di Tanjungpinang saat berusia 24 tahun, pernah bertugas di Komando Operasi Tertinggi Operasi A Angkatan Darat.
"Saya ke Tanjungpinang karena mendapat tugas mengusir penjajah Inggris dari Kepulauan Riau," katanya kala itu.
Meski sudah berusia lanjut, dia masih mampu menceritakan dengan detail peristiwa bersejarah ketika pertama kali bendera merah putih berkibar di Tanjungpinang. Orang yang mengerek bendera merah putih di depan Gedung Daerah Tanjungpinang yakni Mochtar Husein.
"Dia (Mochtar Husein) paman saya. Pelaku sejarah kedaulatan Indonesia di Tanjungpinang," tuturnya.
Ketua Dewan Penasehat Veteran Kepulauan Riau itu mengatakan Kepulauan Riau masuk ke dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan pada tahun 1945.
Mochtar Husein salah seorang pejuang yang memperjuangkan Kepulauan Riau masuk Indonesia. Saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Riau.
Ketika itu, Mochtar dan Tengku Saleh asal Lingga, melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa masyarakat Kepulauan Riau ingin menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1949.
Saat itu, sebagian masyarakat menginginkan Kepulauan Riau masuk ke Singapura, yang saat itu dijajah Inggris.
Kepulauan Riau dijajah Inggris berdasarkan kesepakatan antara negara itu dengan negara penjajah Belanda. Kepulauan Riau yang sebelumnya dijajah Belanda beralih menjadi wilayah yang dijajah Inggris.
"Ada tarik ulur keinginan, antara masuk wilayah kedaulatan Indonesia atau menjadi bagian dari Singapura. Dua-duanya memiliki alasan yang kuat," tuturnya.
Keinginan untuk menyerahkan Kepulauan Riau sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia berdasarkan sejarah nusantara. Sedangkan keinginan untuk menjadi bagian dari Singapura lantaran negara berlambangkan kepala singa itu satu rumpun dengan Kepulauan Riau.
"Singapura dekat dengan Kepulauan Riau dan sama-sama bekas jajahan Inggris," ucapnya.
Di tengah tarik ulur keinginan itu, Mochtar bersama rekan-rekan seperjuangannya memberanikan diri, mendesak Kepulauan Riau masuk dalam wilayah kedaulatan NKRI. Keinginan itu mendapat dukungan penuh dari Presiden Soekarno.
Untuk melahirkan sejarah yang mirip dengan pengibaran Sangsaka Merah Putih pertama di NKRI, bendera merah putih dijahit oleh Rahma binti Rahmat dan Uni Daiya.
"Rahma itu mertua saya, sedangkan Uni Daiya, warga Tepi Laut Tanjungpinang yang memiliki semangat perjuangan yang sama," ucapnya.
Seusai dijahit, bendera merah putih berkibar di sebuah rumah yang berada di depan Gedung Daerah pada tahun 1949.
Bendera itu dikibarkan di atas tiang yang berada di pojok sebelah kanan rumah tersebut. Rumah itu sudah digusur, karena terkesan kumuh berada di pusat kota.
Sedangkan pondasi tiang bendera bergeser setelah Pemerintah Kota Tanjungpinang membangun Tugu Proklamasi.
Tugu Proklamasi itu dibangun saat Suryatati A Manan menjabat sebagai Wali Kota Tanjungpinang.
"Pondasi bendera berada di depan Tugu Proklamasi. Sebenarnya, tidak bisa dikatakan Tugu Proklamasi, karena penyerahan kedaulatan dilakukan pada tahun 1949, bukan 1945. Tapi tidak apa-apa, kalau hanya sekadar untuk mengingat," katanya.
Tidak banyak masyarakat yang mengetahui di sekitar Tugu Proklamasi itu menyimpan sejarah Kepulauan Riau bergabung dengan Indonesia. Mereka mungkin mengira Kepulauan Riau menjadi bagian dari Indonesia sama seperti wilayah lainnya.
"Jangan lupakan sejarah. Sejarah itu harus diingat, disampaikan dengan benar kepada generasi muda," ucapnya.
Petaka
Rabu, 10 Juli 2019 beberapa saat setelah azan memanggil umat Islam untuk salat magrib, kabar buruk mengudara begitu cepat. Berbagai informasi deras mengalir di ponsel yang ingin memastikan apakah benar Gubernur Kepri Nurdin Basirun ditangkap KPK.
Informasi itu ternyata benar, Nurdin ditangkap di rumah dinas yang berada di sebelah Gedung Daerah. Nurdin ditangkap beberapa saat setelah tiba di Gedung Daerah setelah seharian mengikuti acara HUT Bhayangkara di Polda Kepri di Batam.
Nurdin sempat diperiksa beberapa saat sebelum dibawa ke Polres Tanjungpinang. Rumah dinas itu kemudian disegel petugas KPK.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kepri, Nilwan ikut diseret petugas KPK gara-gara membawa durian untuk Nurdin. Ia tidak mengetahui KPK menangkap Nurdin.
"Saat kejadian (Rabu dua pekan lalu) saya bawa satu kardus durian dan dokumen, bukan bawa uang, tetapi saya ikut terseret karena masuk ke Gedung Daerah," kata Nilwan.
Ia pun sempat ketakutan ketika disergap beberapa anggota KPK yang bergerak cepat dari tangga samping rumah dinas Nurdin. "Saya sempat bingung, tidak tahu harus berbuat apa, karena kaget," katanya setelah sempat diperiksa sebagai saksi selama sehari di Polres Tanjungpinang dan Gedung KPK.
Di Polres Tanjungpinang baru diketahui Nurdin ditangkap setelah KPK menangkap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau, Edi Sofyan, dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap di dinas itu, Budi Hartono. Ketiganya diduga terlibat dalam kasus dugaan gratifikasi pemberian ijin prinsip reklamasi di salah satu kawasan di Tanjung Piayu, Batam. Pemberi uang itu yakni Abu Bakar, namun setelah ditelusuri ternyata dia bekerja sebagai nelayan.
KPK sampai saat ini masih menelusuri sumber uang tersebut, dan telah memeriksa sejumlah pengusaha, salah satunya Kok Meng.
Sehari setelah menetapkan Nurdin, Edy, Budi dan Abu Bakar sebagai tersangka, KPK kembali melakukan gebrakan yakni menggeledah rumah dinas Nurdin di Gedung Daerah. Di rumah dinas ini, petugas menemukan dokumen, uang Rp 132.610.000 dalam sebuah tas,
43.942 dolar Singapura, 5.303 dolar Amerika Serikat, 5 euro, 407 ringgit Malaysia, dan 500 riyal Arab Saudi.
Uang itu disimpan dalam tas dan kardus, kata juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Pekan lalu, petugas KPK juga menggeledah sejumlah dinas seperti Dinas Perhubungan Kepri, Dinas ESDM dan Dinas PTSP Kepri. Dari penggeledahan ini, KPK menyita sejumlah dokumen yang berhubungan dengan kasus gratifikasi yang menjeray Nurdin Basirun.
Andi Nasrun, kuasa hukum Gubernur nonaktif Nurdin Basirun mengatakan kliennya dalam kondisi sehat.
"Teman-temannya belum boleh menjenguk, masih menunggu ijin dari KPK," katanya.
Ia mempertimbangkan untuk menjadi "justice collaborator".
"Yang penting sampai sekarang dia masih proaktif. Dengan sikap itu, 'kan hasilnya sama menjadi justice collaborator," kata Andi.
Ia memastikan Nurdin berkomitmen untuk kooperatif. Itu dibuktikan Nurdin selama diperiksa penyidik KPK.
"Selama pemeriksaan Nurdin kooperatif," ucapnya.
Andi tidak ingin menjawab berbagai pertanyaan terkait proses hukum yang dilalui Nurdin.
"Kami menunggu perkembangan proses penyidikan di Batam dan Tanjungpinang yang masih berjalan," katanya.