Cerita WNI yang terdampak "lockdown" di Eropa

id lockdown,karantina wilayah,wni,covid 19,eropa,swiss,prancis

Cerita WNI yang terdampak "lockdown" di Eropa

Suasana sepi terlihat di depan Piramida kaca museum Louvre di Paris saat diberlakukan 'lockdown' untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 di Prancis, Rabu (18/3/2020). (REUTERS/CHRISTIAN HARTMANN)

Jakarta (ANTARA) -

Sejumlah negara di dunia telah memberlakukan karantina wilayah (lockdown) baik keseluruhan atau sebagian sebagai langkah untuk membendung penyebaran virus corona baru atau COVID-19.

Kabar tentang jumlah kasus positif yang kian bertambah atau korban meninggal dunia akibat terinfeksi virus tersebut mungkin menjadi perhatian utama, selain pemberitaan susulan mengenai maraknya aksi borong , kebijakan kerja dari rumah, kegiatan belajar-mengajar melalui sistem daring, hingga ketiadaan tisu toilet.

Segala tantangan dan kerepotan tersebut tentu dialami juga oleh warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di beberapa negara di Eropa.

Hesti Aryani, misalnya, bercerita bahwa dirinya harus mengantre dan menjaga jarak 2 meter dengan orang lain sebelum memasuki sebuah swalayan di Kota Zurich, Swiss, untuk membeli bahan pangan dan kebutuhan sehari-hari.

“Karena dibatasi tidak boleh lebih dari 50 orang di dalam gedung swalayan dalam satu waktu. Jadi kami harus antre untuk membersihkan tangan dahulu menggunakan sanitizer, baru boleh masuk,” kata Hesti kepada ANTARA.

Di Zurich, hanya apotek, kantor pos, pom bensin, pasar swalayan yang boleh buka. Pasar swalayan pun hanya melayani penjualan bahan makanan serta kebutuhan sehari-hari seperti sabun.

“Stok barang-barang penting seperti sabun dan hand sanitizer yang dua minggu lalu sempat habis karena orang-orang panic buying, sekarang sudah normal. Stok sudah tersedia kembali,” ujar Hesti.

Saat akan membayar barang-barang belanjaan di kasir, pengunjung juga wajib menjaga jarak 2 meter dengan pengunjung lainnya dan sebelum meninggalkan swalayan pengunjung juga harus kembali membersihkan tangan menggunakan sanitizer.

Sejak pemerintah Swiss menetapkan pembatasan sosial s awal Maret lalu, kegiatan di ruang-ruang publik terhenti. Warga dianjurkan bekerja dari rumah, kegiatan sekolah dan perkuliahan dilanjutkan secara daring.

Transportasi umum seperti bus dan trem masih beroperasi, namun dengan sedikit sekali penumpang.

Imbauan agar warga Swiss mempraktikkan gaya hidup bersih dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun, tidak batuk atau bersin sembarangan, dan menjaga jarak fisik dengan orang lain gencar disuarakan pemerintah---termasuk melalui poster-poster yang ditempelkan di apartemen penduduk.

Pada umumnya, kata Hesti, masyarakat Zurich sangat mematuhi imbauan tersebut untuk mencegah semakin meluasnya penularan COVID-19.

“Di sini orang-orangnya patuh sekali. Karena meskipun muda, sehat, dan imunitasnya kuat, tetapi kita bisa menjadi carrier yang bisa menularkan virus ke orang lain di sekitar kita yang lebih rentan terinfeksi,” ujar pengajar Bahasa Indonesia di Universitas Zurich itu.

Pemerintah setempat melalui situs resminya secara rutin menginformasikan perkembangan situasi dan penanganan wabah tersebut, sehingga masyarakat dapat merespons dengan tepat.

Overall kami merasa aman karena pemerintah rutin memberikan informasi, dan informasinya pun tidak membuat panik. Langkah-langkah yang harus kami lakukan juga diinformasikan di situ,” kata Hesti, yang tinggal di Zurich bersama suami dan putrinya.

Ini bukan prank Bukan pula challenge atau quiz nangkep ayam yang lagi rame bersliweran di laman media sosial kita. Mungkin 2 minggu #dirumahaja udah mulai boring buat kalian, sudah ada usaha apa selain menghibur diri supaya ga panik? Edukasi circle terdekat sudah? Berdebat sama ortu biar sementara jangan ke masjid untuk sholat berjamaah, udah? Ingetin keluarga biar gak keluyuran buat hal yg ga perlu, udah? Di sini, rasa cemas dan was was kami sudah sejak 1-2 bulan yang lalu. Swiss berbatasan langsung dengan Italia. Pemerintah sudah berupaya mengedukasi dan mengimbau masyarakat sejak bulan Januari. Swiss, negara asal palang merah dunia, dengan fasilitas kesehatan yang canggih serta ekonomi yang maju, yang warganya patuh #diRumajAja dan sepenuhnya sadar akan bahaya penyebaran Covid-19 ini aja bisa kecolongan menembus angka kasus lebih dari 13,000 orang positif dan sudah ada 235 orang meninggal dunia karena COVID-19. Di tempat kalian, gimana?

A post shared by Hesti Aryani (@hestiaryani) on




Sementara itu di Jenewa, Swiss, warga sudah tidak bisa lagi berjemur atau sekadar menikmati suasana di taman-taman.

“Warga tidak boleh keluar rumah kalau tidak perlu. Berkumpul lebih dari lima orang di luar rumah juga tidak boleh,” ujar Sonya Michaella, seorang WNI yang tinggal di Jenewa.

Untuk mencegah agar tidak tertular COVID-19, Sonya dan suaminya sangat disiplin menerapkan perlindungan dan pembersihan diri.

Setelah keluar rumah, ia akan langsung mandi dan mengganti pakaian. Tidak lupa, dia akan mengelap bagian bawah sepatu sesudah dipakai keluar rumah.

“Sejauh ini kami hanya keluar untuk membeli bahan pangan. Itu pun tidak sampai satu jam, paling lama hanya 30 menit,” kata Sonya.

Swiss menjadi salah satu negara yang paling terdampak COVID-19. Situs www.worldometers.info/coronavirus/ mencatat jumlah kasus COVID-19 di negara itu per 1 April 2020 mencapai 16.605 kasus positif dengan 433 kematian dan 1.823 sembuh.

Sementara itu di Prancis, jumlah infeksi COVID-19 tercatat 52.128 kasus dengan 3.523 kematian dan 9.444 sembuh. Angka tersebut menempatkan Prancis di posisi keempat negara paling terdampak COVID-19 di Eropa, setelah Italia, Prancis, dan Jerman.

Tingginya kasus positif corona di Prancis disebut karena masyarakat sempat kurang mengindahkan imbauan pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah.

Selain itu, pemilu wali kota yang diadakan pada 15 Maret lalu mengakibatkan pemerintah Prancis tidak bisa langsung memberlakukan karantina wilayah.

Baru pada 16 Maret, masyarakat Prancis diminta untuk membatasi kegiatan di luar rumah dan menerapkan pembatasan sosial.

“Pada saat itu juga sudah mulai ada pengecekan oleh polisi. Kita harus mengisi surat pernyataan alasan untuk keluar rumah. Kalau melanggar ada dendanya, awalnya 135 euro sekarang sudah naik,” ujar Winna Lia, seorang mahasiswa Indonesia di yang tinggal di Paris.

Mencermati perkembangan situasi di Pusat Mode Dunia itu, Winna menilai kepatuhan masyarakat terhadap aturan berangsur-angsur meningkat. Di ruang publik, masyarakat juga sudah menjaga jarak satu dengan lainnya.

Ia juga melihat situasi keamanan di Prancis secara umum terkendali, karena sebelum memberlakukan pembatasan pergerakan sosial, pemerintah setempat telah membuat rencana yang matang untuk mencukupi kebutuhan esensial warganya---termasuk memastikan distribusi dan stok pangan terpenuhi, hingga mengantisipasi aksi kekerasan.

“Jujur saya jauh lebih khawatir dengan kondisi di Indonesia daripada di sini, karena saya belum melihat kesadaran masyarakat maupun pemerintah untuk lebih tegas,” ujar Winna.

“Tentunya pembatasan harus disiapkan dengan baik agar masyarakat menengah ke bawah tidak semakin menderita. Tetapi kalau pemerintah semakin terlambat bertindak, efek ke ekonomi akan semakin besar dan sulit untuk rebound,” kata mahasiswa yang tengah menempuh studi master jurusan Pengembangan Pariwisata di University of Paris 1 Pantheon-Sorbonne itu.

Dari segi interaksi sosial, pembatasan yang diberlakukan pemerintah Prancis hingga 15 April mendatang---dan ada kemungkinan diperpanjang---jelas mengubah wajah negara ini.

Jalan-jalan sepi, sekolah dan kampus ditutup dan beralih ke metode daring, warganya disarankan bekerja dari rumah, jam buka toko-toko menjadi lebih pendek.

“Selama lockdown jelas jadi tidak bisa ketemu teman dan saya mengurangi interaksi dengan mertua yang tinggal dekat rumah. Sebelumnya kami sering makan malam bareng, sekarang tidak lagi,” kata Cinantyan Prapatti, seorang WNI yang tinggal di Nantes, Prancis.

Cinan, yang menikah dengan warga lokal, bahkan sempat menyaksikan kondisi panic buying saat orang-orang membeli kebutuhan dalam jumlah yang banyak hingga stok sabun batang dan tisu toilet habis di pasaran.

Ia juga prihatin karena petugas kasir di supermarket harus bekerja dengan perlindungan yang minimum, tanpa masker, karena tidak ada standar resmi bagaimana pengelola supermarket harus menyediakan perlindungan bagi para pegawainya yang notabene berinteraksi dengan banyak pelanggan.

“Saya sehari-hari sebetulnya low risk banget, sejak sebelum wabah COVID-19 juga jarang keluar rumah. Tetapi sekarang jujur tiap keluar jadi paranoid dan insecure. Habis belanja langsung pakai hand sanitizer, sampe rumah cuci tangan, ponsel, kartu kredit didisinfektan, barang-barang yang dibeli juga dibersihkan,” ujar Cinan.

Namun, di tengah kewaspadaan yang terus dibangun untuk mencegah penularan virus, rasa solidaritas antarmasyarakat di Prancis masih senantiasa dipupuk.

Tidak jarang, Cinan membantu tetangganya yang lansia yang sama sekali tidak bisa keluar rumah karena kondisi fisik yang lebih rentan tertular.

“Saya masih bisa keluar rumah untuk olahraga, jadi masih bisa lari asal sendirian, tidak lebih dari satu jam dan dalam radius 1 kilometer dari tempat tinggal. Saya beberapa kali ikut membantu tetangga lansia untuk membawa anjingnya jalan-jalan di luar,” kata Cinan.

Semangat solidaritas yang sama juga ditunjukkan warga Zurich, yang tidak segan membantu kerabat atau tetangga yang lanjut usia untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari dan mengantar ke tempat tinggal mereka.

Kesadaran dan solidaritas seperti ini, dinilai perlu terus digalakkan untuk membantu seluruh masyarakat melalui masa-masa sulit hingga pada akhirnya wabah berhasil dikalahkan.

So please, stay at home now. Save lives. Sudah di rumah saja, karena dengan di rumah kita bisa membantu program pemerintah untuk memperlambat laju penularan COVID-19 dan kita bisa ikut menyelamatkan nyawa banyak orang,” kata Hesti Aryani, menyampaikan pesannya dari Zurich, Swiss.

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE