Forum Ekonomi Dunia atau lebih dikenal dengan nama World Economic Forum menjelaskan bahwa risiko lingkungan, termasuk cuaca ekstrem ditambah kegagalan mengatasi perubahan iklim, menjadi topik yang dominan. Selain itu, risiko hilangnya keanekaragaman hayati akan mempengaruhi kesehatan dan pembangunan sosial ekonomi, yang berimplikasi pada kesejahteraan, produktivitas, dan bahkan keamanan daerah. Seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia saat ini, menyebabkan peningkatan kadar karbon dioksida (CO2) yang mengakibatkan pemanasan global.
Pemanasan global merupakan salah satu gejala akibat terjadinya perubahan iklim. Kini, hal tersebut menjadi salah satu permasalahan di dunia akibat berbagai aktivitas manusia. Salah satu contoh dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global adalah mencairnya gunung es di daerah kutub yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Naiknya permukaan air laut merupakan ancaman serius bagi ekosistem mangrove dan ekosistem lainnya di wilayah pesisir.
Ekosistem mangrove berperan dalam memanfaatkan CO2 untuk fotosintesis, yang kemudian disimpan dalam bentuk biomassa dan sedimen. Karbon yang tersimpan di mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan tipe hutan lainnya, dimana karbon tersebut tertanam dalam sedimen mangrove. Proses penguraian ranting dan daun mangrove yang gugur oleh mikroorganisme merupakan salah satu sumber bahan organik pada sedimen mangrove.
Besarnya potensi cadangan karbon pada ekosistem mangrove menggambarkan bahwa Karbon Biru merupakan elemen penting dalam pengelolaan pesisir yang terintegrasi dalam proses adaptasi terhadap perubahan iklim. Selain sebagai penyerap karbon, mangrove juga memiliki fungsi sebagai penahan gelombang, habitat berbagai biota laut termasuk ikan. Menurut, setiap ha mangrove mampu menopang kehidupan ikan (1.070,42 kg), menyerap karbon (196,8 ton/ha), dan dapat menahan laju pergerakan air laut pada saat pasang atau surut dan tsunami. Dengan demikian, mangrove dapat berperan dalam ketiga fungsi tersebut.
Untuk menjamin terlaksananya ketiga fungsi tersebut, perlu dirancang mekanisme yang lebih operasional. Salah satu pendekatan terbaik adalah memberikan peran desa dalam konservasi. Desa sebagai entitas masyarakat yang dekat dengan mangrove dapat berperan sebagai pengelola, pengendali, pengawas fungsi ekonomi, ekologi, sosial, dan perlindungan dunia. Program pengelolaan mangrove berbasis desa untuk kesejahteraan masyarakat dan dunia telah menjadi paradigma baru yang melibatkan multi pihak.
Pengelolaan ekosistem mangrove di Bintan selama ini belum dilakukan pelibatan masyarakat (community-based management) yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemantauan serta tindak lanjut. Model pengelolaan yang selama ini diterapkan tidak mampu meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian ekosistem. Keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat sangat ditentukan oleh karakteristik masyarakat pesisirnya. Karena karakteristik masyarakat pesisir di setiap daerah berbeda, maka respon terhadap program pemerintah pun tidak sama. Karakteristik masyarakat pesisir yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, lama tinggal, pekerjaan dan pendapatan pokok, serta jumlah tanggungan dapat mempengaruhi persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan.
Dari hasil program, implementasi pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat di kawasan Bintan belum mencapai keberhasilan yang berarti. Program pemerintah tentang revegetasi mangrove selama ini hanya berbasis proyek yang tidak berjalan secara berkelanjutan dan menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat.
Program tersebut belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam persepsi dan kesadaran masyarakat dalam mendukung keberlanjutan. Kegiatan pendampingan dan pembinaan melalui program pemberdayaan juga belum menunjukkan kemandirian masyarakat pesisir dalam melanjutkan program pengelolaan yang dirintis. Kegiatan hanya dapat berjalan pada awal program pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, sedangkan evaluasi, pemantauan dan keberlanjutan program tidak dapat dikelola secara mandiri oleh masyarakat.
Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat mengutamakan aspirasi dan inisiatif masyarakat dan mengacu pada desentralisasi hak, tanggung jawab, dan wewenang dari pemerintah kepada masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam. Setiap masyarakat dituntut memiliki kemampuan manajerial dan kematangan yang merata dalam proses pengelolaannya. Proses pengelolaan menjadi tanggung jawab lembaga masyarakat. Keterampilan manajerial adalah kemampuan masyarakat lokal untuk mengorganisir diri termasuk setiap individu. Namun, anggota komunitas tidak membekali diri dengan keterampilan ini. Kurangnya keterampilan manajerial menghasilkan proses manajemen yang bergantung. Dengan kata lain, diperlukan keterlibatan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam menjaga keberlanjutan suatu pengelolaan. Untuk mengakomodir permasalahan dalam pengelolaan berbasis pemerintah dan berbasis masyarakat, jalan tengahnya menggunakan model pengelolaan berbasis kolaboratif (co-management) yang menggabungkan unsur pemerintah dengan pengguna.
Pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan co-management merupakan proses pengelolaan bersama yang dilakukan dengan melibatkan instansi terkait, terutama masyarakat dan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya, dalam setiap proses pengelolaan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan. Co-management dapat membatasi peran salah satu pihak dalam pengelolaan sumber daya alam sehingga bias terhadap aspirasi salah satu pihak dapat diminimalisir. Selain itu, proses pengawasan dan penegakan hukum akan lebih efektif dan efisien karena dilakukan di tingkat lokal dan mendapat dukungan dari masyarakat. Kolaborasi antara elemen pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan kemandirian masyarakat. Melalui kajian analisis ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan, pemerintah dan masyarakat pesisir diharapkan dapat merumuskan model pengelolaan ekosistem mangrove berbasis kolaboratif untuk pengembangan ekowisata di Pulau Bintan. Selanjutnya model kolaboratif yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya diharapkan dapat menjadi tambahan referensi dan saran untuk perbaikan model pengelolaan ekosistem mangrove guna mewujudkan kesadaran dan kemandirian masyarakat dalam melestarikan sumber daya pesisir sehingga dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi ekologi dan lingkungan serta aspek ekonomi masyarakat pesisir.
Keterangan : Isi dan maksud tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab redaksi
Komentar