Jakarta (ANTARA) - Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru. Dalam pidatonya, ia menyebut langkah ini sebagai bagian dari Liberation Day, strategi besar untuk membebaskan ekonomi Amerika dari ketergantungan pada impor.
Semua barang impor kini dikenai tarif dasar sebesar 10 persen, tetapi negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS mendapat tarif tambahan.
Indonesia termasuk dalam daftar yang terkena dampak terbesar dengan tarif mencapai 32 persen.
Bagi eksportir Indonesia, ini bukan sekadar angka di atas kertas. Industri tekstil, alas kaki, furnitur, karet, hingga perikanan selama ini mengandalkan pasar AS sebagai salah satu tujuan utama ekspor.
Tarif baru ini berpotensi membuat produk Indonesia kehilangan daya saing, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara yang dikenai tarif lebih rendah.
Sebagai contoh, Brasil hanya dikenai tarif 10 persen, sementara negara penghasil kakao seperti Pantai Gading dan Ghana mendapat tarif 21 dan 10 persen.
Dampak kebijakan tarif itu tidak seragam bagi semua sektor. Bagi industri alas kaki, yang sekitar 40 persen produknya diekspor ke AS, kebijakan ini bisa menjadi pukulan berat. Harga jual yang lebih tinggi akibat tarif impor dapat membuat produk Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam dan Meksiko.
Namun, bagi sektor perikanan, terutama ekspor udang, ada peluang tersembunyi. Vietnam, yang selama ini menjadi pesaing utama Indonesia di sektor ini, dikenai tarif lebih tinggi, yaitu 46 persen.
Dengan strategi yang tepat, eksportir Indonesia justru bisa merebut pangsa pasar dari negara pesaing yang lebih terdampak.
Komentar