Pengacara: Waspadai Surat Tanah Palsu di Bintan

id Pengacara,Waspada,Surat,Tanah,Palsu,Bintan,sertifikat

Ada yang paham risiko akibat memalsukan surat tanah, tetapi masih melakukannya, karena tanah memiliki nilai ekonomi yang tinggi

Tanjungpinang (Antara Kepri) - Seorang pengacara di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Herman mengimbau masyarakat di Bintan mewaspadai surat kepemilikan tanah palsu yang dibuat oknum yang tidak bertanggung jawab.

"Ini dialami langsung oleh klien saya, pemilik lahan seluas 13,4 hektare di Desa Malang Rapat, Bintan. Kami tidak ingin peristiwa yang sama dialami warga," katanya di Tanjungpinang, Selasa.

Dia mengatakan, tanah memiliki nilai ekonomi. Karena itu ada oknum-oknum yang berupaya mengambil tanah milik orang lain dengan berbagai cara. Salah satunya dengan memalsukan surat kepemilikan tanah.

"Ada yang paham risiko akibat memalsukan surat tanah, tetapi masih melakukannya, karena tanah memiliki nilai ekonomi yang tinggi," ujarnya.

Herman saat ini menjadi kuasa hukum Said Ismed dan Dwi Hartadi, yang dikuasakan oleh Mustaqim untuk menjaga tanah di dekat lahan milik pemerintah di KM 52. Selama mengikuti permasalahan itu, dia menemukan banyak kejanggalan pada surat milik lawan kliennya.

Surat tanah orang yang saat ini menguasai lahan milik Mustaqim, bos PT Korindo, ditemukan banyak kejanggalan. Jika diteliti lebih mendalam pada surat kemilikan tanah milik lawan Mustaqim, ditemukan pemilik tanah usia di bawah 10 tahun sudah menggarap tanah.

Ada pula fakta pada keterangan surat tersebut bahwa orang yang belum lahir menggarap lahan tersebut. Selain itu, pada peta surat tanah dengan luas tanah tidak sama.

Sebagian surat menggunakan materai, sebagian lagi pakai logo Kepri. Wilayah ini di tahun 1989 belum menjadi provinsi.

"Ada surat keterangan tanah yang terbit tahun 1989, tetapi tertulis Provinsi Kepulauan Riau. Padahal Kepri ditetapkan sebagai provinsi tahun 2002. Ditemukan pula tahun 1989 ditulis Kecamatan Gunung Kijang, padahal saat itu masih Kecamatan Bintan Timur," katanya.

Surat-surat itu menerangkan bahwa lahan tersebut dibeli oleh seorang pengusaha bernama Hartanto alias Acun dan M Ardian dari Hasim, Aisyah, Salama dan Sumini. Tetapi pada 1 Juli 2016 dalam rapat mediasi di kantor desa setempat, Hasim mengaku tidak pernah membuat dan menandatangani surat-surat itu.

Kemudian pada malam harinya, Hasim, Aisya, Salama dan Sumini tinggal satu rumah dan sempat diintervensi oleh sejumlah orang untuk mencabut surat pengakuan itu. Akhirnya, permintaan itu dipenuhinya.

"Kemudian Hasim melaporkan permasalahan itu kepada kades dan membuat surat pengakuan diintervensi oleh pihak itu," katanya.

Selain surat keterangan tanah yang ditemukan banyak kejanggalan, juga ditemukan tiga sertifikat atas nama Tengku Amelia, Kristina Harahap dan Rasman BMUE. Ketiga sertifikat hak milik itu tidak terdaftar di BPN.

Ketiga surat itu dipalsukan oleh Tanjung. Tanjung sudah mengakuinya melalui surat pernyataan.

"Hasim, Aisyah, Salama dan Sumini sudah mengakui menjual lahan itu kepada Mustaqim tahun 1983. Tanah milik Mustaqim itu telah bersertifikat hak milik dan terdaftar di BPN," ujarnya.

Herman mengatakan, permasalahan tanah milik kliennya semakin rumit lantaran dikuasai oleh Ardian dan Hartanto. Bahkan di atas lahan itu sudah didirikan pondok dan pembatas lahan.

Upaya mediasi gagal dilakukan lantaran Edison, orang yang mengatasnamakan Ardian dan Hartanto bertahan di lokasi tanah itu. Di bulan Juli terjadi perang mulut antara klien Herman dengan Edison.

"Saat pertama datang ke sana, ada oknum provost Korem. Jadi kami laporkan permasalahan ini ke Korem, kemudian Koramil Kijang membantu menyelesaikan masalah ini," katanya. (Antara)

Editor: Rusdianto

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE