Tanjungpinang (ANTARA) - Balai Karantina Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) optimistis bisa mengendalikan penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK) dan kembali menghijaukan zona bebas PMK untuk seluruh wilayah setempat.

Kepala Balai Karantina Kepri Herwintarti mengatakan upaya pencegahan PMK dapat dilakukan dengan tindakan karantina yang tepat sesuai SOP Badan Karantina Indonesia (Barantin), yakni menerapkan sistem biosecurity, biosafety, biodefense, biodiversity serta traceability.

"Karantina Kepri bersama entitas terkait terus bersinergi dan berkolaborasi melindungi Kepri dari penyebaran PMK yang semakin meluas," kata Herwintarti di Tanjungpinang, Rabu.

Baca juga: PN Batam batal sidangkan 11 mantan Satresnarkoba Barelang

Pihaknya juga telah mensosialisasikan kepada seluruh pemangku kepentingan perihal Surat Edaran Badan Karantina Indonesia (Barantin) Nomor 38 tentang Peningkatan Kewaspadaan Penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) melalui kegiatan ngobrol seputar informasi perkarantinaan (Ngosip).

Menurutnya dengan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif, Karantina Kepri bersama pemangku kepentingan berpartisipasi dalam pengetatan pengawasan akan lalu lintas hewan rentan PMK (HRP) yang masuk ke wilayah Kepri sebagai zona kuning.

Selain itu, kata dia, upaya vaksinasi HRP di daerah asal atau hasil uji laboratorium negatif PMK serta dilengkapi sertifikat kesehatan dari daerah asal dan dilaporkan di tempat pemasukan, juga diharapkan dapat menekan penyebaran PMK di wilayah perbatasan tersebut.

"Selama dilakukan tindakan karantina, kami tidak menemukan adanya penyakit yang mengarah pada PMK di Kepri," ucapnya.

Baca juga: Kodim 0318 sumbang 51 kantong darah ke RSUD Natuna

Sementara, Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Provinsi Kepri Ana Dela menyampaikan penyebaran PMK dapat berdampak pada kerugian ekonomi, terutama di sektor peternakan dan perdagangan sapi.

Dia menyebutkan wabah PMK bisa memicu kurangnya produksi susu pada sapi perah, lalu juga bisa menyebabkan berkurangnya berat badan pada sapi potong.

"Sementara untuk ternak sapi yang dikembangbiakkan, tidak bisa bunting dan menghasilkan anak apabila terpapar PMK," kata Ana Dela di Tanjungpinang, Selasa (21/1).

Selain itu, wabah PMK yang disertai dengan inspeksi sekunder bisa menyebabkan kematian pada hewan ternak, namun kematian dimaksud bukan dipicu PMK, melainkan akibat penyakit penyerta.

Selanjutnya yang paling berdampak besar imbas PMK ialah terkait kendala lalu lintas hewan ternak, karena dengan adanya status PMK maka perdagangan hewan ternak jadi terhambat, mulai dari lalu lintas batas bahkan ekspor luar negeri.

"Kalau misalnya Batam (Kepri) positif PMK, otomatis Indonesia pada umumnya juga dinyatakan positif PMK oleh dunia internasional, sehingga kita tidak bisa atau dilarang mengekspor peternakan berikut produk turunannya ke luar negeri," ujarnya.

Baca juga:
Dinkes Batam catat sebanyak 586 UMKM baru tersertifikasi SPP-IRT

Rutan Tanjungpinang fasilitasi "video call" bagi warga binaan dan keluarga


Pewarta : Ogen
Editor : Yuniati Jannatun Naim
Copyright © ANTARA 2025