Menyimak keunikan nelayan nomaden di Natuna

id Natuna, kepri, pulau panjang, ikan teri, bilis Oleh Cherman

Menyimak keunikan nelayan nomaden di Natuna

Penampakan ikan teri (bilis) di Pulau Panjang, Bunguran Utara, Natuna, Kepulauan Riau, Senin (19/4/2022). (ANTARA/Cherman)

Natuna (ANTARA) - Di Kabupaten Natuna Kepulauan Riau, sekelompok nelayan sengaja hidup nomaden, berpindah dari satu pulau ke pulau lain, guna memburu ikan teri. 

Salah satu Nelayan berpindah tersebut adalah Karianto (59). Ayah dari lima orang anak tersebut sepanjang tahun hidup berpindah-pindah demi memburu kawanan ikan teri atau masyarakat setempat menyebutnya Bilis.

"Saya melakukan ini sudah sejak tahun 2003, saya asli Pontianak, ke Natuna sejak 1997, KTP saya beralamat di Penagi, Ranai", kata Karianto seraya merebus Bilis di Pulau Panjang, Desa Teluk Buton, Natuna.

Pulau Panjang dikenal sebagai destinasi wisata dengan pantai yang indah. Dan tidak hanya itu, pulau cantik itu juga menjadi tujuan nelayan berpindah untuk berburu bilis.

Saat tinggal di Pulau Panjang, ia juga berburu di pulau ikan teri di pulau sekitar, antara lain Pulau Bunga, Pengadah dan Sujung.

Satu bulan lebih sudah ia berada di Pulau Panjang dan akan terus berada di sana hingga November, sebelum pindah ke pulau yang lainnya.

"Tahun kemarin di sini yang paling banyak bilis, biasa selain di sini di Sujung juga pernah panen besar, namun di sini sejak dahulu sudah terkenal akan banyak bilisnya", kata Karianto.

Ia bersama empat rekannya telah mengumpulkan 10 Kg bilis kering, sejak awal musim bilis kali ini .

"Selama sebulan lebih ini baru dapat dua tong lebih atau 10 kilo kering. Kadang tiap malam kita turun, tidak mesti dapat. Kadang dapat kadang tidak dapat sama sekali," cerita dia. 

Nelayan bilis memilih untuk berpindah-pindah karena menyesuaikan dengan keberadaan kawanan bilis yang selalu berpindah setiap musimnya.

"Sedikitnya 120 pompong nelayan bilis tampak di sini, Nelayan Teluk Buton saja sekitar 80, ditambah nelayan dari daerah lain seperti saya dan rekan yang lain", kata Karianto.

Pulau Panjang banyak menjadi tujuan para Nelayan. Selain karena teduh dan terlindung dari gelombang, pulau itu juga memiliki sumber mata air, daerah tangkap bilis sangat dekat dengan daratan.

"Bilis banyak karena pengaruh nelayan sekarang punya cara tangkap berbeda, kalau dulu seberapa banyak saja bilisnya diambil, yang ada diambil semua, seberapa mampu kita panen. Sekarang kita tidak begitu, ambil secukupnya saja, karena jika ambil banyak juga percuma bilis akan rusak, menumpuk terlalu banyak dan keterbatasan waktu saat mengolahnya," kata Karianto.

Ia juga menceritakan kenapa dulu para nelayan tidak mengatur jumlah tangkap. Hal itu dilakukan karena cara pengolahan bilis dahulu hanya dijadikan Pedak (fermentasi ikan teri) atau warga setempat menyebutnya Pedek.

"Dulu kita hanya tau cara di garam lalu di jemur dan dipedek (fermentasi). Namun sejak tahu 2016 nelayan beralih ke teknik pengeringan dengan cara direbus, sekarang rebus," ujarnya.

Pengolahan dengan cara tersebut dipilih karena biaya pengolahannya lebih murah jika dijadikan pedek. 

"Karena pedek membutuhkan banyak garam, dan juga hasil jual lebih murah. Sedangkan untuk bilis rebus setelah kering itu lebih mahal, jadi kalau dapat 2 atau 4 tong (wadah bekas kaleng cat ukuran 25 Kilo) langsung pulang, tidak lebih dari itu karena jaga kualitas," kata Karianto.

Kelompok nelayan itu memiliki tim kerja masing masing saat melakukan pengolahan hasil tangkap mereka. Dan semua dilakukan dalam sebuah gubuk. 

"Ada petugas rebus dan ada yang nangkap. Paling lambat 2 jam harus sudah direbus, kalau tidak hasilnya nanti tidak bagus," kata dia.

Selain lebih murah pengelolaannya, harga ikan bilis kering juga memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. Apabila harga Pedek sekitar Rp7.000 per Kg, maka bilis kering mencapai Rp45.000 hingga Rp50.000 per Kg.

"Jika kita bandingkan, dua tong ikan dijadikan pedek jadi sekitar 50 Kg, kalau bilis kering menjadi 10 Kg namun harganya jauh lebih mahal. Pedek ada biaya garam, kalau bilis rebus kita tidak ada beban biaya garam, merebus juga gunakan air laut, jadi sudah asin, kalaupun pakai sedikit saja," kata dia.

Tidak hanya di pulau, nelayan juga biasa merebus ikan di perairan, dengan membangun pondok di atas kapal terapung.

Setelah direbus, bilis dijemur. Menurut dia, jika cuaca cerah dibutuhkan waktu sekitar 4 hingga 5 jam untuk menjemur. 

"Mengeringkan bilis setelah di rebus jika panas terik 4 jam sudah kering dan itu tahan disimpan hingga 3 sampai dengan 4 bulan", ujar Karianto.

Sebenarnya, selain dijemur, ikan juga bisa dikeringkan dengan membakar menggunakan oven. Namun, ia mengatakan menggunakan panas matahari lebih cepat kering. 

"Kedua cara tersebut bisa dilakukan jika memiliki modal. Saya sering membuang hasil tangkap, setiap tahun pasti terjadi, sering dibuang jika sudah di rebus tiba - tiba cuaca buruk tidak bisa di jemur, busuk, terus di buang", kata Karianto.

Sementara itu, puluhan hingga ratusan lampu perahu terlihat menghiasi perairan pulau panjang di malam hari.

Nelayan nomaden juga tidak membangun bagan seperti daerah lain. Mereka sepakat menggunakan cara tradisional saat melakukan panen bilis.

"Kalau bagan tidak boleh dekat, mereka minimal 3 mil, jadi yang boleh hanya pompong (kapal) kecil seperti kami dengan ukuran setengah hingga satu ton saja," kata Karianto.

Selain Karinto, tampak juga Nelayan asal Kelarik, Desa Tanjung dan Teluk Buton masih bertahan di Pulau Panjang. Mereka akan pindah ke pulau lain pada bulan-bulan berikutnya untuk mencari bilis.


                  Daya tarik pelancong
Keunikan cara nelayan nomaden mencari ikan di Pulau Panjang menjadi daya tarik tersendiri bagi pelancong yang berkunjung ke pulau itu.

Pemandangan lampu para nelayan di sepanjang pinggiran pantai juga menambah suasana di pulau tidak berpenghuni itu semakin menarik.

Pengunjung Pulau Panjang, Yunita mengaku sangat menikmati paduan menarik antara pemandangan alam dan lampu nelayan di tengah laut.

"Malam ini saya bisa lihat jelas galaksi bintang, disusul dengan munculnya bulan dan dikelilingi lampu para nelayan. Luar biasa", kata Yunita.

Pulau Panjang memang memiliki daya tarik tersendiri bagi para pengunjung, karena memiliki hamparan tanjung pasir putih menghadap ke matahari terbenam.

Selain pantai, terumbu karang, penyu, matahari terbit dan tenggelam bisa dilihat dengan jelas dari sana. 

"Saat 'snorkeling' tadi sore saya bertemu gerombolan ikan, luar biasa seru, sepertinya ikan teri, banyak sekali," kata wanita asal Jakarta tersebut.

Ia yakin, apabila dikemas dengan baik, maka Pulau Panjang akan menjadi tujuan wisata sangat menarik.

 

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE