Catatan Akhir 2010 : Derita TKI Ilegal Usiran Malaysia

id derita, tki, bermasalah, batam, tanjungpinang, malaysia, panampungan

Catatan Akhir 2010 : Derita TKI Ilegal Usiran Malaysia

Suasana di Penampungan TKI Bermasalah. (kepri.antaranews.com/Henky Mohari)

Hiruk pikuk ratusan orang TKI bermasalah yang bercengkrama di luar penampungan menunggu dipulangkan ke daerah asal tidak membuat Despian Murtasyd menangis.

Bayi berusia 15 hari itu hanya terdiam menatap sang ibu, Nina (26) yang medekap dan melantunkan syair hingga dirinya tertidur lelap di penampungan TKI bermasalah Jalan Transito Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Jumat.

"Despian baru berumur 14 hari saat saya diusir dari Malaysia bersama ratusan TKI bermasalah lainnya pada Kamis (30/12) malam," kata Nina dengan sedikit terbata.

Wanita muda itu warga Kota Batam. Ia mencari peruntungan di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga dan akhirnya beralih menjadi pelayan kantin di Pahang, hingga akhirnya diusir dari negeri seberang.

Sesekali Nina mengusap kepala Despian seolah-olah sedih melihat anaknya ikut merasakan penderitaan yang dialaminya.

"Dia sehat mas, walaupun tidak mendapat asupan gizi yang cukup sejak lahir hingga di penampungan ini," kata Nina yang masih tampak pucat sehabis persalinan.

Selain Despian, juga ada lima orang bayi yang ikut dideportasi Malaysia bersama 111 orang wanita dewasa dan 43 orang laki-laki dewasa pada Kamis (30/12).

Mereka tidur di ruangan berukuran 2,5x3 meter persegi yang juga dihuni 111 orang wanita dewasa usiran Malaysia itu.

Namun bayi-bayi itu bisa tidur dengan pulas seolah-olah tidak ingin merecoki orang tua mereka yang sedang susah.

Nina mengatakan, Despian lahir di Rumah Sakit Kerajaan Sultan Ismail Johor Bahru Malaysia, saat dirinya sudah masuk "lokap" (penjara) hingga kemudian diusir.

Suaminya yang bekerja secara ilegal di Triang, Pahang, Malaysia sebagai tenaga "kontrek" (buruh bangunan) belum sempat melihat buah hasil perkawinannya.

"Sekarang saya ke Batam dulu, nanti baru hubungi suami," katanya.

Nina mengaku masuk ke Malaysia sekitar 1,5 tahun yang lalu secara resmi melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Batam sebagai pembantu rumah tangga, dengan janji akan dibayar 600 ringgit Malaysia per bulan.

Karena tidak tahan dengan bau daging babi yang menjadi santapan majikannya, Nina hanya bertahan selama 1,5 bulan sebelum melarikan diri dan memilih bekerja sebagai pelayan kantin dengan imbalan 35 ringgit Malaysia per hari.

"Tidak masalah, yang penting saya bisa bekerja dan lari dari majikan yang tidak mau membayar gaji saya," katanya.

Nina tidak sendirian merasakan pahitnya mencari nafkah di negeri jiran, karena masih ada puluhan bahkan ratusan ribu TKI yang bekerja secara ilegal di Malaysia merasakan hal yang sama.

"Sekarang saya hanya bisa menjalani hidup ini walaupun berat," lirihnya.

Hukum cambuk

TKI usiran Malaysia bukan hanya tidak mendapatkan hak mereka sebagai pekerja, tetapi juga mendapatkan hukuman "sebat" (cambuk) saat menjalani hukuman penjara sebelum diusir.

"Hukuman cambuk tergantung keputusan 'mahkamah' (pengadilan), terkadang bisa dapat satu kali, atau bahkan empat kali," kata Bambang yang diusir Malaysia Jumat siang.

TKI laki-laki yang terkena hukuman cambuk dibagian pantat beberapa hari sebelum diusir Malaysia, terkadang bisa langsung dikenali, biasanya mereka berjalan agak pelan dan meringis kesakitan karena terkena celana.

Di antara mereka ada yang mengenakan celana panjang longgar dari bahan kain yang lunak, seperti celana olah raga untuk mengurangi rasa sakit.

Selama di penjara, penyiksaan fisik juga dialami para TKI ilegal, mereka bahkan ada yang dijemur dibawah terik matahari tanpa baju dan hanya mengenakan celana dalam.

"Kalau masih berada di 'lokap' menunggu keputusan 'mahkamah' memang kami tidak diperbolehkan pakai baju dan hanya pakai celana dalam, setelah ada keputusan baru dapat baju penjara," kata TKI ilegal lainnya, Adi.

Harta dikuras

Penderitaan TKI ilegal kian bertambah ketika harta benda dikuras saat ditangkap polisi Malaysia.

"Saya hanya bawa baju di badan pak, seluruh harta benda saya dikuras habis pada saat ditangkap," kata Sunarman (56) asal Jawa Timur.

Bahkan Sunarman mengatakan, baju yang dipakainya sudah satu bulan lebih tidak diganti sejak ditangkap sampai tiba di penampungan Tanjungpinang.

"Kami sudah terbiasa dengan bau menyengat seperti ini, karena semuanya sama walaupun ada sebagian yang sempat membawa harta benda," ujarnya yang bekerja sebagai buruh bangunan di Johor Bahru.

Uang gaji yang didapat sebelum ditangkap menurut dia tidak sempat dikirim ke kampung halamannya untuk menafkahi istri dan dua orang anaknya.

Di antara TKI ilegal, bahkan ada yang tidak pakai alas kaki sampai di Tanjungpinang. dan hanya membawa baju dan celana yang melekat di badan.

"Bukan hanya TKI ilegal yang dikuras hartanya, bahkan ada juga teman saya yang memiliki visa dan paspor kerja resmi ditangkap dan dikuras harta bendanya," celetuk TKI lainnya.

Penampungan

Setelah berada di penampungan, derita TKI bermasalah belumlah berakhir, mereka harus berbaris jongkok untuk mendapatkan jatah nasi bungkus yang lauknya hanya tahu dan tempe, sesekali pakai telur.

Bukan hanya itu, mereka juga harus bayar mahal saat berbelanja didalam penampungan yang menyediakan pakaian, makanan, bahkan ada yang menjual "charge" telepon seluler dan pulsa.

"Saya minta diisikan pulsa senilai Rp50 ribu, namun pulsa yang masuk hanya senilai Rp35 ribu, sementara Rp15 ribu lainnya untuk biaya pengiriman pulsa kata pedagang," kata Farid, TKI ilegal asal Medan.

WNI yang umumnya berbicara dalam logat bahasa Melayu Malaysia itu juga tidak mendapatkan fasilitas yang memadai seperti warga asing yang ditampung di Rumah Detensi Imigrasin Tanjungpinang.

Ibarat langit dan bumi, perbedaan itu sangat nyata.

Di penampungan TKI bermasalah, tidak tersedia tempat tidur, kipas angin, ataupun fasilitas lainnya yang lebih manusiawi. Sementara penampungan warga asing sangat manusiawi karena dibiayai "International Organization for Migration (IOM)".

Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning Proletariati terkejut saat melakukan kunjungan beberapa waktu lalu ke penampungan itu.

"Secara umum tidak manusiawi. Apalagi dari segi kesehatan, sangat tidak manusiawi. Di situ bahkan ada juga bayi serta orang tua di atas 50 tahun," kata Ribka usai mengunjungi penampungan di Jalan Transito Tanjungpinang, Selasa 3 Agustus 2010.

Ribka mengaku sangat terkejut melihat kondisi penampungan TKI bermasalah yang dinilainya bersama beberapa anggota Komisi IX lainnya sangat memprihatinkan.

"Saya sangat kaget melihat kondisi seperti ini," ujar Ribka, anggota Fraksi PDI Perjuangan.

Fasilitas di penampungan tersebut menurut dia juga sangat tidak layak apalagi ada anak-anak bayi dan orang tua yang tidur di tempat seadanya.

"Terlepas mereka TKI yang diusir atau bermasalah di Malaysia, yang jelas adalah anak bangsa yang harus mendapatkan pelayanan yang layak," katanya.

Dia menegaskan, negara harus mengurus betul TKI tersebut agar penanganannya lebih layak.

Jumlah TKI usiran Malaysia sejak 2003 hingga 31 Desember 2010 melalui Kota Tanjungpinang telah menyamai jumlah penduduk Kota Gurindam Negeri Pantun itu, yakni 230 ribu jiwa. (HM/Btm1)

Editor: Jo Seng Bie
COPYRIGHT © ANTARA 2025


Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE