Gerak cepat KBRI yang menenangkan kakak beradik asal Batam dari perang saudara di Sudan

id Penyintas Sudan,Perang saudara Sudan,Batam,Kepri Oleh Ilham Yude Pratama

Gerak cepat KBRI yang menenangkan kakak beradik asal Batam dari perang saudara di Sudan

Fikri Wahyudi Maulana (kanan foto) dan Abdurrahman Tsani (kiri baju merah) penyintas perang saudara Sudan asal Batam. ANTARA/Yude

Batam (ANTARA) - “Saya sebelumnya tidak berpikiran akan dievakuasi. Saat itu saya sudah pasrah saja menunggu ajal," tutur Fikri Wahyudi Maulana, 22 tahun, penyintas konflik Sudan asal Batam.

Akan tetapi, secercah harapan muncul di depan mata ketika Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sudan mengabari akan ada evakuasi, waktu itu.

"Kami senang sekali,” ujar Fikri saat ditemui di kediamannya, Minggu (7/5).

15 April 2023. Tanggal itulah awal mula kisah Fikri, mahasiswa Gabra Scientific Collage Sudan, menjadi penyintas perang saudara di negeri itu.

Hari itu dia sedang menjalani aktivitas keseharian seperti biasa. Selain kuliah, dia dan beberapa temannya juga menjadi pengurus masjid di Kota Khartoum. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara ledakan. Awalnya dia tidak menghiraukannya, dia mengira itu hanya aksi unjuk rasa biasa oleh masyarakat sipil.

Namun, suara ledakan dan tembakannya tidak berhenti terdengar. Lalu, dia coba cek melalui menara masjid melihat ke arah sumber ledakan, ternyata itu suara baku-tembak.

Begitu Fikri melihat grup Whatsapp, ternyata benar terjadi perang saudara antara pasukan militer pemerintah dengan pasukan pemberontak.

Awalnya dia tidak khawatir dengan kejadian itu  karena hanya mengira itu bentrokan biasa dan hanya sebentar. Namun tidak dengan teman-temannya, yang langsung memilih mengungsi ke tempat aman. Fikri hari itu memilih bertahan di rumah yang disediakan selama menjadi pengurus masjid.

“Warga lokal juga terlihat tidak terlalu khawatir, makanya saya memilih bertahan di rumah sendirian,” ucapnya.

Fikri bertahan sampai hari pertama Idul Fitri 2023 dan sempat melaksanakan shalat di masjid tersebut. Hingga akhirnya ada satu kejadian yang membuatnya sangat takut dan akhirnya ia memilih mengungsi.

Setelah shalat sekitar pukul 10 pagi itu, Fikri pergi ke rumah warga berjarak sekitar 300 meter dari masjid, untuk mengisi daya handphone-nya karena listrik di sekitar kompleks masjid terputus.

Ia berencana pulang pukul 12 siang, tapi pada pukul 11.30 dapat kabar kalau rumah yang  ditempatinya sudah hancur dihantam mortir.

Mengetahui hal tersebut, dia sangat bersyukur karena Tuhan masih menyelamatkan dirinya dari serangan mortir nyasar tersebut. Setelah insiden mengerikan itu dia langsung memilih untuk mengungsi.

“Kalau saya tidak keluar rumah waktu itu, saya nggak tahu lagi apa yang terjadi,” ucapnya.


Akses komunikasi terputus

Fikri menceritakan jaringan internet di sana sempat mengalami gangguan, namun tidak lama. Namun hanya ada satu kartu operator yang bisa dipakai waktu terjadi pertempuran  tersebut.

Kesempatan itu dia gunakan untuk berkomunikasi dengan orang tuanya yang berada di Batam serta kerabatnya di sana.

“Orang tua nangis-nangis menghubungi saya, disuruh cepat-cepat pulang,” kenang Fikri.

Selama di Sudan, seluruh WNI dimasukkan di satu grup Whatsapp yang di buat oleh staf dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sudan untuk mempermudah komunikasi. Di situlah WNI mendapatkan kabar bahwa mereka akan ada evakuasi.

Pemerintah dinilai Firkri sangat memperhatikan nasib mereka yang berada di Sudan dan pihak KBRI juga  selalu menanyakan kondisi WNI.

 

Kisah abang kandung Fikri

Abdurrahman Tsani, 23 tahun, merupakan abang kandung Fikri. Keduanya sama-sama kuliah di kota tersebut namun beda universitas.

Menurut penuturannya, mereka tidak sempat bertemu selama kejadian karena berbeda tempat tinggal dan tempat pengungsian. Mereka bertemu kembali setelah tiba di Jakarta.

Senada dengan Fikri, Rahman, sapaan Abdurrahman Tsani, mengatakan kondisinya juga sangat menegangkan saat perang terjadi. Bagaimana tidak, di seberang kompleks asrama yang menjadi tempat tinggal Rahman, dijadikan markas oleh pasukan pemberontak.

“Pas di seberang asrama, itu markas pemberontak, jadi suara tembakan itu tidak henti-hentinya terdengar,” kata mahasiswa International University of Africa (IUA) itu.

Karena posisinya yang terlalu dekat, dia dan 70 mahasiswa Indonesia yang tinggal di asrama sempat mengalami kesusahan mendapatkan makanan dan minuman. Namun, di asrama itu juga ada warga lokal yang suka membantu mereka untuk mendapatkan makanan.

Alhamdulillah warga lokal di sana sangat baik sama kami, kami kekurangan bahan pangan, mereka tidak sungkan-sungkan memberi kami makanan dan minuman,” ujarnya.

Setelah beberapa hari, akhirnya mereka dievakuasi menggunakan bus milik kampus ke kantor Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Namun, itu lagi-lagi tidak mulus. Mobil yang awalnya akan menjemput mereka ada empat kendaraan, berubah menjadi dua mobil karena tidak diizinkan oleh kelompok pemberontak.

Mereka (pemberontak) memang tidak pernah mengganggu warga Indonesia, tapi mereka hanya mengizinkan dua mobil yang menjemput.

"Jadi kami terpaksalah bersempit-sempit di dalam bus,” kata dia.


Evakuasi KBRI

Fikri dan seluruh WNI yang berada di pengungsian sangat lega setelah KBRI di Sudan memberitahukan akan segera mengevakuasi mereka ke bandara terdekat yang aman dari perang.

“Kami sangat senang waktu itu karena pemerintah mau melakukan evakuasi yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh kami,” katanya.

Namun, dalam perjalanannya lagi-lagi mendapat masalah dari pihak pemberontak. Bus yang awalnya akan datang 16 unit, yang diizinkan untuk mengangkut WNI hanya tujuh unit karena dilarang oleh pihak pemberontak.

“Yang penting kami bisa segera meninggalkan tempat itu,” ucapnya.

 

Rencana ke depan

Saat ini mereka hanya menunggu kepastian,  agar dapat terus melanjutkan pendidikan meskipun tidak melanjutkan di Sudan lagi.

“Kami berharap ada solusi yang terbaik dari Pemerintah,” ujar Fikri.

Sekarang untuk mengisi keseharian, kakak beradik ini membantu orang tuanya mengajar mengaji di rumahnya di Batam.

Meskipun belum memutuskan bakal kembali ke Sudan, keduanya berharap kedua pihak yang bertikai segera mengakhiri kontak senjata.

Di mana pun dan kapan pun, perang selalu memicu kepedihan, tak terkecuali bagi Fikri dan Rahman yang terputus studinya di Sudan.


Editor: Achmad Zaenal M



 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Gerak cepat KBRI yang menenangkan kakak beradik asal Batam di Sudan

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE