Natuna (ANTARA) - Setiap tahun, di awal dan akhir musim, wajah laut Natuna, Kepulauan Riau, berubah garang. Ombak bisa menggulung hingga lebih empat meter, menerjang pantai tanpa ampun.
Gelombang tak hanya pernah menumbangkan rumah yang berdiri di pesisir, tapi juga perlahan menggerus pulau. Pasir, batu, dan lumpur terseret ke laut, memudarkan garis darat, mengikis batas negara.
Inilah kekhawatiran yang tak bisa diabaikan. Di wilayah yang menjadi beranda bagian utara Republik Indonesia, setiap jengkal tanah begitu berarti. Karena hilangnya satu meter daratan bisa berarti berpindahnya garis kedaulatan dan mengurangi batas wilayah.
Menyadari itu, Pemerintah Kabupaten Natuna bergerak. Tak sekadar menunggu, mereka menyusun rencana, menyuarakan kebutuhan, dan memperjuangkan perlindungan fisik untuk pulau-pulau kecil dan besar terluar yang terancam tenggelam dalam diam.
Usulan demi usulan diajukan ke pusat, dan akhirnya pada tahun 2022, perjuangan itu mulai berbuah. Dua tanggul pemecah ombak dibangun di Pulau Semiun dan Pulau Sebetul, yang merupakan dua dari enam pulau kecil tak berpenghuni.
Dua Pulau ini masuk dalam administratif Kecamatan Pulau Laut, yang langsung menghadap perairan internasional dan kerap memanas karena klaim sepihak negara China. Di sanalah batu pertama diletakkan, bukan hanya untuk menahan ombak, tapi juga sebagai simbol bahwa negara hadir, meski hanya angin, air, dan deburan yang menjadi saksi.
Tahun berikutnya, pembangunan dilanjutkan di Pulau Subi Kecil. Pulau ini berbeda, karena berpenghuni. Warga di sana hidup berdampingan dengan laut, menggantungkan hidup dari tangkapan dan hasil bumi. Tanggul yang dibangun bukan hanya menjaga daratan, tapi juga melindungi kehidupan dan membentengi harapan agar generasi selanjutnya tetap memiliki tanah untuk berpijak.
Kini, pada 2025, giliran Pulau Kepala di Kecamatan Serasan. Anggaran ratusan miliar digelontorkan untuk membangun tanggul pemecah ombak raksasa di pulau tak berpenghuni itu. Sekali lagi, bukan karena pulau itu ramai atau kaya, tapi karena letaknya strategis. Pulau itu adalah penjaga sunyi yang berdiri tegak di ujung negeri.
“Tujuan pembangunan ini adalah agar pulau-pulau kecil terluar ini tidak hilang dan mempengaruhi luas wilayah Republik Indonesia. Karena kalau hilang, dikhawatirkan batas negara pun akan ikut menyusut,” ungkap Kepala Dinas PUPR Kabupaten Natuna Agus Supardi.
Menghidupkan ekonomi perbatasan
Namun perjuangan Natuna tak hanya berhenti pada menjaga batas. Di balik gelombang dan tanggul, pemerintah juga menyiapkan fondasi untuk masa depan. Bukan hanya tentang mempertahankan tanah, tapi juga menghidupkannya.
Salah satu upaya strategis itu diwujudkan melalui pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Pulau Serasan. Rencana pembangunan PLBN itu diperjuangkan sejak 2020, dan akhirnya dioperasikan pada Februari 2025.
PLBN Serasan kini menjadi simpul baru konektivitas Indonesia-Malaysia. Dibangun di kawasan pesisir, pos ini membuka jalur perlintasan orang terbatas dan barang secara resmi.
Dampak pembangunan pos lintas batas itu langsung terasa. Warga lebih mudah mengakses bahan pokok dari negeri jiran. Material bangunan jadi lebih murah. Hasil bumi dan laut Serasan pun mulai menembus pasar luar negeri. Ekonomi berdenyut pelan namun pasti, memberi warna baru bagi kehidupan di tapal batas.
Tak hanya itu, PLBN Serasan kini sedang dipersiapkan sebagai pintu masuk wisatawan mancanegara. Uji coba telah dilakukan, menghadirkan puluhan turis asing yang menyaksikan sendiri keindahan laut, pantai, budaya, makanan dan keramahan masyarakat perbatasan.
Mereka bukan sekadar pengunjung, tapi penyebar pesan bahwa di perbatasan ada hal menarik dan unik yang bisa dinikmati.
Agar wisata tumbuh di Serasan, infrastruktur terus dibenahi. Jalan raya diperlebar, fasilitas publik diperbaiki, dan tanggul penahan tanah dibangun di titik-titik rawan longsor. Pembangunan ini jadi langkah penting, terutama setelah bencana longsor besar menghantam Serasan pada 2023, meninggalkan luka yang masih membekas di hati warga.
Kini, Serasan tak lagi hanya dikenal sebagai pulau terluar. Ia sedang bersolek menjadi tuan rumah yang ramah. Warga dilatih bahasa asing, edukasi pariwisata digalakkan, dan desa-desa yang dulu sepi mulai tumbuh dengan semangat baru.
Kini juga tak aneh ketika ada obrolan tentang nikmatnya berjalan-jalan di pantai di sebuah pulau di Kabupaten Natuna. Misalnya seperti celetukan dari seseorang yang sedang berjalan-jalan bersama sejumlah rekannya di Pantai Piwang pada akhir Juni.
"Enak tinggal di sini, ya. Tenang, udara bersih air jernih, anginnya juga bikin mata ngantuk," kata orang itu saat bersama kawan-kawannya menikmati pantai yang sudah lama di sulap jadi taman hijau itu.
Di sisi lain, sektor pangan juga menjadi perhatian. Petani lokal mendapat bibit padi unggul dan bantuan pupuk. Panen mulai menjadi rutinitas yang membanggakan, bukan lagi harapan semu.
“Hari ini kita panen padi bersama. Semoga ke depan masyarakat kita bisa mandiri dan lebih maju lagi,” ucap Bupati Natuna Cen Sui ketika turun ke ladang saat panen raya.
Di Natuna, pembangunan bukan sekadar proyek. Ia adalah napas panjang dari sebuah perjuangan diam-diam. Dari tanggul pemecah ombak di pulau sunyi, hingga pasar ekspor di desa kecil perbatasan, semuanya mengalir dalam satu tujuan, menjaga negara dengan membangun kehidupan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membangun tanggul untuk menjaga batas negeri
Komentar