Sungguh, wilayah Indonesia sangat besar, Google mencatat, luas seluruh wilayah Indonesia mencapai 1.919.440 km persegi dan tidak kurang dari 13.466 pulau yang memadati perairan Indonesia.
Namun, mengapa ketika berbicara Indonesia dengan warga asing, mayoritas dari mereka hanya mengenal Bali, Jakarta, Yogyakarta dan kota besar di Pulau Jawa lainnya.
Jarang ada yang tahu Tanjungpinang di Provinsi Kepulauan Riau, Sangihe di Sulawesi Utara atau Larantuka di Nusa Tenggara Timur. Padahal daerah itu juga memiliki kekayaan dan keindahan alam yang tidak kalah dengan daerah di Pulau Jawa.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis mengatakan, bahkan setelah Indonesia merdeka 69 tahun, mayoritas APBN masih untuk pembiayaan pembangunan di Pulau Jawa.
"Sampai sekarang menurut saya sekitar 70 persen anggaran Negara jatuh di Pulau Jawa," kata Harry.
Meski menurut putra kelahiran Kota Tanjungpinang itu, pembiayaan untuk Pulau Jawa masih wajar dan paralel dengan jumlah penduduk yang tinggal di pulau itu. Karena menurut Harry, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 67 persen dari total penduduk Indonesia.
"Tapi kalau dilihat dari sisi penyebaran dan potensi pembangunan di luar Jawa, memang tidak sesuai," kata dia.
Menurut dia, keberpihakan pemerintah pusat untuk Pulau Jawa adalah pilihan politik, yang masih belum serius membangun daerah di luar Pulau Jawa.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur yang baik di Pulau Jawa membuat investor berbondong-bondong untuk menanamkan modalnya di pulau terpadat itu.
Sepanjang 2013, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat Pulau Jawa masih menjadi lokasi utama realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) untuk memproduksi berbagai barang kebutuhan.
Dari data BKPM, realisasi investasi tahun 2013 di Pulau Jawa mencapai Rp230 triliun atau 57,8 persen dari total investasi di seluruh Indonesia, disusul Sumatera dan Kalimantan yang sama-sama mencapai Rp55 triliun atau 13 persen total investasi, Maluku dan Papua Rp27,8 triliun atau sebesar 7 persen, Sulawesi Rp17,7 triliun atau 4,4 persen serta Bali dan Nusa Tenggara Rp12,8 triliun atau 3,2 persen.
Sempitnya Pasar Pesisir
Ketidakberpihakan industri di wilayah Indonesia lainnya, khususnya di pesisir berimbas pada distribusi barang-barang produksi.
Karena hampir seluruh produksi barang kebutuhan masyarakat di Pulau Jawa, maka dibutuhkan biaya transportasi yang relatif lebih besar untuk pendistribusiannya ke wilayah Indonesia yang lain.
Apalagi wilayah pesisir seperti Natuna di Indonesia bagian Barat atau Larantuka di Indonesia bagian timur.
Lokasi pesisir yang terkesan jauh dan terisolir, membuat sulit ditembus oleh pasar. Tentu saja, mahalnya transportasi menjadi alasan utama, disamping faktor cuaca buruk yang kerap menjadi penghalang kelancaran pelayaran kapal-kapal pengantar barang.
Seorang warga Ranai, Agus Bagjana bercerita, tidak semua merek barang ia temukan di tempat tinggalnya sekarang.
Agus, yang lahir di Bandung dan menghabiskan kariernya sekitar lima tahun di Kota Batam sedianya terbiasa dengan merek-merek tertentu. Sayang, banyak barang tidak bisa ia temukan di pasar-pasar Ranai.
Distributor hanya memilih produk dan merek tertentu untuk dipasarkan di daerah di Laut China Selatan itu.
Misalnya saja produk mie cepat saji, kata Agus, selain tidak bisa bebas memilih merek, tidak semua rasa diperdagangkan di Natuna.
"Hanya ada rasa soto, sesuai dengan banyaknya iklan mie instan rasa soto," kata Agus.
Hal itu terjadi pada setiap barang kebutuhan, seperti pasta gigi, kecap, minyak goreng dan lain-lain.
"Jangankan bicara selera, ada saja sudah syukur," kata Agus yang terpaksa mengubah merek rokok yang dikonsumsinya karena keterbatasan pasar.
Keterbatasan produk itu sejalan dengan keterbatasan informasi yang diterima masyarakat.
Distributor hanya akan menjual barang yang digemari masyarakat. Distributor tidak akan mengambil resiko dengan memasok merek-merek tertentu yang dianggap tidak populer.
Ayalnya, masalah popularitas dan barang yang diperdagangkan itu ibarat lingkaran setan, dan seperti menebak siapa yang ada terlebih dulu, telur atau ayam? Masyarakat tahu merek produk dari barang-barang yang ditawarkan distributor. Dan distributor hanya menjual produk yang diketahui masyarakat.
"Buat masyarakat Natuna yang jarang ke luar daerah mungkin tidak masalah, karena informasi yang mereka juga terbatas. Lain dengan kami yang terbiasa dengan banyak pilihan merek saat tinggal di kota besar, tentu kagok. Tapi apa lagi mau dibuat, kami terpaksa mengikuti apa yang ditawarkan pasar. Karena tidak mungkin setiap pekan belanja ke Batam," kata Agus.
Keterbatasan pasar akan lebih parah pada musim-musim tertentu saat badai menerpa hingga kapal tidak bisa berlayar mengantar barang-barang kebutuhan. Di Natuna, itu terjadi mulai Oktober hingga Februari, masyarakat lokal menyebutnya Musim Angin Utara.
Kala musim itu datang, masyarakat hanya bisa pasrah dengan apa yang ditawarkan pasar. Jumlah konsumsi pun terpaksa dibatasi karena sedikitnya barang beredar.
Dan tidak hanya itu, masyarakat pun harus dibebani dengan harga yang tinggi.
Masyarakat pesisir dituntut untuk memiliki uang yang lebih banyak ketimbang masyarakat yang berada di pusat kota, karena mereka harus menanggung biaya distribusi dari setiap barang yang dikonsumsinya.
FTZ Batam, Bintan dan Karimun
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Kepulauan Riau Soraya Djayakusuma menyatakan keterbatasan jenis barang dan merek di Natuna dan daerah pesisir lain di Indonesia hanya dipengaruhi faktor ekonomi dari distributor. Tidak ada intervensi politik atau social dari pemerintah.
"Mengapa distributor hanya menjual barang merek tertentu, biasanya, karena distributor melihat yang laku di sana, merek A, rasa A, maka dia hanya mengirimkan barang itu," ujar perempuan yang juga Ketua Yayasan Pendidikan Maritim Indonesia dan masuk dalam tim perumusan Kementerian Maritim Presiden Terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Menurut Soraya, distributor khawatir akan mengalami rugi akibat barang tidak terjual bila menyediakan banyak jenis dan merek produk.
Apalagi, biaya logistik untuk daerah kepulauan di Indonesia sangat tinggi, sehingga distributor harus menyiapkan banyak modal untuk menutupi ongkos kirim.
"Makanya daerah terpencil hanya didistribusikan barang yang sesuai dengan keinginan masyarakat di pulau, karena pedagang tidak berani spekulasi," kata Soraya.
Selain itu, adanya rentang sosial ekonomi serta keberpihakan pemerintah terhadap daerah yang ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) di Batam, Bintan dan Karimun dengan daerah pesisir lainnya di Kepulauan Riau seperti Natuna, Lingga dan Anambas membuat sulitnya pedagang dalam memasarkan dagangannya.
Batam terutama, sudah dilengkapi berbagai pembangunan infrastruktur untuk mendukung kelancaran KPBPB. Batam memiliki beberapa pelabuhan dengan standard internasional yang diharapkan dapat menjadi pintu masuk maupun ke luar barang-barang dari dalam dan luar negeri.
Fasilitas infrastruktur itu pun menjadi pintu bagi pedagang yang membawa barang dari Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia dengan maksud disebar ke daerah-daerah lain di Provinsi Kepri.
Seharusnya itu cukup untuk memudahkan distribusi barang dari Pulau Jawa ke pesisir di utara Indonesia. Namun, regulasi KPBPB yang menjadikan Batam bukan bagian dari daerah pabean Indonesia mengharuskan barang-barang yang dibawa ke luar dari Batam diperlakukan sebagai barang ekspor.
Setiap barang yang ke luar dari Batam diberlakukan sebagai barang ekspor dan dikenakan pajak, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
"Ada tiga daerah "Free Trade Zone" (FTZ) yang seharusnya bisa berdagang dengan natuna. Tapi kesiapan Natuna belum klop. Kecuali, daerah yang dinyatakan FTZ sudah memiliki kesepakatan, mengirimkan kuota barang tertentu untuk memenuhi kebutuhan pesisir,¿ kata dia.
Ia menyarankan agar pemerintah darah mendukung distribusi logistic di pesisir selain FTZ BBK dengan menerbitkan Peraturan Daerah, agar tidak ada saling silang antara ketentuan UU KPBPB dengan upaya menyejahterakan masyarakat.
"Bagaimana agar FTZ memberikan manfaat kepada semua daerah yang tidak memiliki FTZ. Agar FTZ bisa memasukan barang ke non FTZ demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat antar pulau," kata Soraya.
Butuh Intervensi Pemerintah
Pengamat Ekonomi Perbatasan, Suyono Saputra meyakini sedikitnya merk dan jenis barang yang beredar di Natuna, wilayah Indonesia yang berbatasan dengan empat negara itu bukanlah kesengajaan yang dilakukan oleh produsen.
Produsen tidak mungkin mengintervensi pasar, dengan melakukan berbagai cara sehingga jenis barang dan merek tertentu tidak bisa menembus pasar di Natuna. Saat ini sudah bukan zamannya lagi monopoli, bahkan di wilayah yang sulit diawasi sekalipun seperti Natuna, produsen tidak mungkin memaksakan kehendaknya.
"Enggak mungkin, tidak bisa seperti itu. Ini era perdagangan bebas, apalagi ada Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang memantau dengan ketat," kata Suyono.
Menurut Suyono, kurangnya penyebaran jenis barang dan merek di pesisir hanya dipengaruhi factor ekonomis, yaitu biaya angkut yang mahal.
Akibat yang terlampau jauh dari pusat kota, maka hanya kelompok produsen yang memiliki jaringan yang kuat dan mampu menanggulangi biaya distribusi saja yang bias mencapai daerah pesisir.
Suyono menyarankan agar pemerintah mengintervensi distribusi barang ke pesisir demi terpenuhinya kebutuhan keberagaman jenis produk dan pasar di pesisir. Pemerintah diminta untuk memberikan subsidi khusus untuk menutupi ongkos distribusi pedagang.
"Kembali ke daerah masing-masing, sebaiknya pemerintah memberikan subsidi biaya angkut. Itu kalau ada fariasi barang. Keciuali masyarakat nyaman dengan yang ada," kata dia.(Antara)
Editor: Dedi
Komentar