Batam (ANTARA) - Pemerintah berupaya meningkatkan pengetesan dan pelacakan kontak erat kasus COVID-19 di masyarakat, sebagai upaya serius dan berkelanjutan dalam menghentikan penularan virus corona jenis baru itu, yang hampir menyentuh setahun terakhir sebagai pandemi.
Presiden Joko Widodo bahkan disebutkan akan mengeluarkan instruksi presiden khusus mengenai hal itu.
TNI juga mempersiapkan diri. Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto menyatakan pihaknya akan mengerahkan 29.736 personel untuk melakukan pelacakan kontak erat kasus COVID-19 di tujuh provinsi, di Jawa dan Bali, yang melaksanakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro.
Kementerian Kesehatan menggerakkan puskesmas sebagai fasilitas kesehatan yang berada di hulu, dekat dengan masyarakat, untuk meningkatkan kapasitas pengetesan dan pelacakan.
Semua saling bahu-membahu, demi mewujudkan Indonesia yang sehat dan bebas dari pandemi COVID-19.
Sementara itu, di ujung Indonesia bagian barat, dekat dengan Singapura dan Malaysia, seorang anak bangsa bersama kawasan wisata Lagoi dan pemerintah daerah setempat akan menggunakan alat pelacakan COVID-19 yang diharapkan lebih efisien dan efektif. Alat itu bernama Blue Pass.
Ialah Al Ghozi, pakar teknologi informasi yang tergabung dalam Satuan Tugas Penanganan COVID-19 di BNPB. Ia juga berkontribusi memperkuat PeduliLindungi, sebuah aplikasi untuk melakukan pelacakan kasus COVID-19.
Blue Pass merupakan sebuat alat kecil menyerupai "flash disc" yang mampu merekam perjalanan setiap penggunanya.
"'Device' ini berupa alat 'tracing' digital, bentuknya seperti 'flash disc', kayak korek," kata Al Ghozi
Alat itu telah diujicobakan di BNPB dengan dua hasil menggembirakan, yaitu dapat mengetahui sumber asal penularan virus corona jenis baru tersebut dan mengetahui kontak erat COVID-19, sehingga dapat memutus mata rantai penularannya.
Kepada ANTARA, Al Ghozi menjelaskan terkait dengan cara kerja alat itu. Blue Pass dibagikan kepada pengguna dengan merekam data-data yang dibutuhkan, dalam hal ini lebih dari 500 orang yang bekerja di BNPB.
Sepekan kemudian, diketahui di antara 500-an orang yang bekerja di BNPB ada yang menderita COVID-19. Dari data yang terekam pada Blue Pass, kemudian diketahui asal penularan COVID-19 dari mereka yang terkonfirmasi positif tersebut.
Blue Pass juga mengungkap dengan siapa saja lima orang ini melakukan kontak dekat sesuai riwayat virus itu sendiri, yaitu dalam waktu sedikitnya 15 menit dan dalam jarak minimum dua meter.
"Kami bisa lihat, itu tertular dari si A. Si B bisa mungkin menularkan. Bisa tahu kontak eratnya siapa saja," kata dia.
Fungsi utama alat itu memang untuk melacak kontak penderita COVID-19.
Menurut dia, alat itu juga sudah diterapkan di Singapura dengan standar jarak dua meter dan waktu kontak 15 menit.
Dibawa
Setelah sukses uji coba di BNPB, saat ini alat tersebut dibawa ke kawasan wisata eksklusif, Lagoi di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Kepala Dinas Pariwisata Kepri Buralimar menyambut Blue Pass dengan harapan mampu mengembalikan kepercayaan Singapura, agar wisman bisa berkunjung ke sana.
Lagoi, Bintan, dan Batam merupakan daerah tujuan wisatawan dari Singapura. Napas pariwisata Kepri berasal dari "Negara Singa" itu. Tidak heran apabila pihak berwenang sangat berharap dengan kepercayaan "Negara Singa" itu untuk memperbolehkan warganya menghabiskan waktu di Kepri.
"Selama ini Blue Pass sudah diterapkan di Singapura. Dengan menggunakan alat ini di Lagoi, kami berharap dapat meningkatkan rasa kepercayaan wisman dari Singapura untuk berkunjung ke Lagoi," kata dia.
Simulasi penggunaan Blue Pass di Lagoi dilakukan pada Kamis (11/2), dengan hasil yang sama. Alat itu mampu mendeteksi kontak erat COVID-19.
Buralimar menegaskan, penggunaan Blue Pass di Lagoi murni upaya swasta, dalam hal ini pengelola Lagoi, untuk melindungi pekerja dan pengunjung.
"Tidak ada dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Kami, sebagai Dinas Pariwisata turut mendukung, agar Lagoi bisa dibuka, wisata bisa hidup kembali," kata dia yang juga menjabat Ketua Posko Lawan COVID-19.
Menurut dia, Blue Pass lebih efektif dan efisien melakukan pelacakan dibandingkan dengan menggunakan tenaga manusia.
"Kalau menurunkan petugas Dinkes ada SPPD-nya, mereka juga hanya mampu melakukan 'tracing' lima hingga enam orang per hari," kata dia.
Sementara itu, dengan Blue Pass, alat tersebut bisa mendeteksi riwayat perjalanan penggunanya dengan cepat, hingga menentukan siapa saja yang harus menjalani pemeriksaan.
"Dan lebih efektif. Kalau 'tracing' sendiri, banyak orang yang harus dites 'swab' (usap), sedangkan kalau pakai Blue Pass sudah dibatasi dengan orang yang kontak dalam waktu 15 menit dan jarak dua meter," kata dia.
Buralimar mencontohkan apabila di suatu kantor diketahui ada seorang yang terkonfirmasi COVID-19 maka semua yang berada di kantor ikut dilakukan pelacakan. Padahal tidak semuanya pernah melakukan kontak erat.
Dalam kesempatan itu, ia mengatakan apabila Blue Pass berhasil digunakan di Lagoi, maka pihaknya akan menawarkan alat itu untuk digunakan juga di Nongsa Point Marina di Kota Batam, yang juga kawasan pariwisata relatif tertutup.
"Kita buat contoh dulu biar Singapura percaya dengan kita," ucap dia.
Komentar