Jakarta (ANTARA) - Pakar linguistik dari Universitas Indonesia (UI) Prof Multamia RMT Lauder mengatakan bahwa, revitalisasi bahasa daerah yang diupayakan pemerintah melalui Merdeka Belajar bukan hanya sekadar untuk melestarikan budaya bangsa.
Dia menjelaskan, bahasa merupakan alat untuk menyampaikan perasaan serta pikiran. Dengan demikian, maka setiap komunitas memiliki bahasa tersendiri yang menyimpan berbagai informasi di dalamnya.
”Sederhana saja. Setiap komunitas kan tinggal di letak geografis yang berbeda. Misalnya orang yang tinggal di pegunungan hanya tahu ikan. Sementara orang yang tinggal di pinggir laut, mereka punya sebutan untuk berbagai macam jenis ikan,” kata Multamia saat dihubungi ANTARA, Selasa.
”Sehingga kekayaan kosakata tergantung juga pada kondisi alamnya. Jika bahasa daerah punah, pengetahuan atau informasi-informasi yang terdapat dalam bahasa itu juga ikut punah. Akhirnya berimbas pada budaya yang juga akan punah,” imbuhnya.
Baca juga:
Pemkab Natuna latih pemandu wisata budaya dan museum
Kantor Bahasa Babel bakal revitalisasi bahasa daerah
Multamia menambahkan, bahasa daerah juga bisa menjadi daya tarik pariwisata Indonesia. Misalnya dengan menamai suatu tempat atau makanan dengan bahasa daerah tersebut, sehingga revitalisasi bahasa daerah juga bisa bermanfaat untuk perekonomian Indonesia.
Dari sisi lain, Psikolog Anak dan Remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (UI) Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengungkapkan, mempelajari lebih dari satu bahasa juga dapat berguna bagi perkembangan otak.
”Belajar bahasa lain membuat area otak yang terlibat dalam fungsi bahasa menjadi lebih berkembang, jaringan sel otak menjadi lebih kuat dan adaptif terhadap hal-hal baru,” kata Vera.
Hal ini juga berdampak pada kemampuan-kemampuan lain, lanjut Vera. Misalnya seperti kemampuan belajar, komunikasi dan sosialisasi.
Mempelajari lebih dari satu bahasa juga mampu menajamkan fungsi kognitif serta mengembangkan kreativitas.
Baca juga: Pemkot Batam tekankan pentingnya gunakan bahasa Indonesia kepada OPD
Meski demikian, mengajarkan bahasa daerah khususnya di wilayah heterogen akan lebih sulit. Uun mengatakan bahwa akan lebih baik apabila anak dikenalkan bahasanya terlebih dulu. Sebab dengan mengenal, anak akan lebih mudah dalam mempelajari suatu bahasa.
”Walaupun anak tidak hafal bahasa daerah itu, minimal kenal. Sebab mengajarkan agak susah apabila anak belum mengenal bahasa tersebut,” ucap Uun.
Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Drs. Imam Budi Utomo, M.Hum mengatakan bahwa pihaknya telah melibatkan para pemangku kepentingan seperti dinas pendidikan, sekolah, orang tua, pemengaruh, tokoh adat, dan lain-lain.
”Kita berusaha meningkatkan prestige bahasa itu dalam komunikasi sehari-hari dan dalam dunia pendidikan dengan sasaran generasi muda. Sebab merekalah ahli waris bahasa daerah mereka sendiri. Dengan demikian, stigma ’kampungan’ dan ndeso berbahasa daerah bisa dikikis,” kata Imam.
Sasaran dari revitalisasi bahasa daerah ini adalah 1.491 komunitas penutur bahasa daerah, 29.370 guru, 17.955 kepala sekolah, 1.175 pengawas, serta 1,5 juta siswa di 15.236 sekolah.
Pada tahun 2021, revitalisasi bahasa daerah dilaksanakan di tiga provinsi dan lima bahasa. Pada 2022, Imam mengatakan pihaknya telah memperluas revitalisasi bahasa daerah di 13 provinsi sementara pada 2023 revitalisasi bahasa daerah diperluas di 25 provinsi dengan jumlah 72 bahasa/dialek.
Imam menuturkan bahwa target setiap tahun akan dilaksanakan dan dievaluasi. Provinsi dan bahasa yang sudah direvitalisasi juga akan terus dipantau dengan harapan supaya bahasa daerah dapat terus lestari dan generasi muda semakin sadar untuk mencintai dan mempelajari bahasa
Baca juga: Google umumkan ekspansi Bard di 59 negara, kini bisa Berbahasa Indonesia
Dalam pemberitaan sebelumnya dijelaskan bahwa Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Prof. Warsono mengatakan regulasi pemakaian bahasa dan busana daerah seminggu sekali untuk SMA/SMK dan SLB yang diminta secara khusus oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa menjadi bagian dari uri-uri budaya hingga penguatan karakter.
"Regulasi pemakaian bahasa dan busana daerah setiap seminggu sekali untuk SMA/SMK dan SLB yang diminta secara khusus oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa bisa menjadi bagian dari uri-uri budaya hingga penguatan karakter," kata Prof. Warsono di Surabaya, Selasa.Mantan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini menyebut regulasi pemakaian bahasa dan busana daerah ini akan menguatkan kembali karakter pelajar, karena dalam bahasa daerah, khususnya Jawa terdapat pembagian bahasa alus, kromo ataupun ngoko.
"Saya kira itu bagus dalam rangka mempertahankan budaya kita. Karena budaya kita harus dirawat. Dan merawatnya ini dengan pembiasaan dalam segi bahasa dan pakaian," ujarnya.
"Tentunya hal ini juga akan berdampak pada ekonomi, karena ekonomi masyarakat berbasis kultur seperti pedagang busana daerah ataupun batik akan hidup juga," tambahnya.
Lebih lanjut, Prof. Warsono mengatakan budaya kita merupakan budaya berkarakter ada tata krama serta unggah ungguh. Penerapan berbahasa ini tentunya akan dibarengi dengan penerapan perilaku yang santun.
Sehingga perlu terus dilestarikan, dengan menerapkan satu hari dalam seminggu menggunakan bahasa daerah menjadi bagian dari uri-uri budaya.
"Hal ini harus dibiasakan biar anak-anak saat ini tidak lupa. Misalkan hanya komunikasi saja maka ini menjadi pembiasaan, kalau tidak dibiasakan habit dan habitatnya maka akan hilang budaya kita," ucapnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pakar: Revitalisasi bahasa daerah tak sekadar untuk lestarikan budaya
Komentar