Karimun, (ANTARA News) - Ketua LSM Kiprah Jhon Syahputra menilai dana pembebasan lahan sebesar Rp1,8 miliar yang dianggarkan Pemerintah Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau untuk terminal bus di Jalan Poros, Tanjung Balai Karimun mubazir.
''Kami menilai mubazir karena sejak dibebaskan dengan anggaran APBD 2004 dan 2005, lahan tersebut masih kosong,'' katanya di Tanjung Balai Karimun, Minggu 9 Januari 2011.
Menurut Jhon Syahputra, pemerintah daerah sudah seharusnya mempertanggungjawabkan dana APBD sebesar Rp1,8 miliar yang dihabiskan untuk membebaskan lahan tersebut.
''Terminal tersebut harus dibangun sebagai bentuk tanggungjawab pemerintah terhadap dana masyarakat, apalagi keberadaan terminal sangat penting untuk mempercepat pembangunan di kawasan Poros yang diproyeksikan sebagai kota baru,'' katanya.
Dia menduga, pembangunan terminal bus terkendala karena status lahan yang bermasalah karena diduga dikuasai oleh oknum pejabat Pemkab Karimun, namun di sisi lain digugat seorang warga, Yusmiatun ke pengadilan.
''Ada indikasi oknum pejabat mengklaim lahan tersebut lalu menerima dana ganti rugi. Dugaan tersebut mencuat setelah Yusmiatun juga mengklaim dan menggugat ke pengadilan,'' katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sengketa lahan terminal Poros merupakan salah satu contoh tidak telitinya pemerintah daerah membebaskan lahan untuk kepentingan pembangunan.
''Kami menduga motif pembebasan lahan terminal itu sama dengan kasus pembebasan lahan PT Saipem yang mengakibatkan empat pejabat diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi,'' ucapnya.
Informasi dihimpun, lahan terminal Poros digugat Yusmiatun, warga Sei Raya, Kecamatan Meral ke Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun pada 2008.
Yusmiatun mengajukan gugatan ke pengadilan dengan Isdianto, Kepala Dinas Pertambangan Kepri yang saat itu menjabat Kepala Kantor Kesbang dan Infokom Karimun sebagai tergugat I, Pemkab Karimun tergugat II dan Badan Pertahanan Nasional selaku tergugat III.
Dalam gugatan secara perdata tersebut, Yusmiatun mengklaim 2,6 dari 4 hektar lahan tersebut merupakan miliknya, yang ditandai dengan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) yang diterbitkan pada 2002 dan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan.
Dalam persidangan yang diketuai hakim Hastopo, pada 22 Mei 2008, dia menuntut para tergugat membayar ganti rugi sebesar Rp2 miliar.
''Yusmiatun menang setelah banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Sedangkan pihak tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga kini, kasasi MA itu belum diketahui putusannya dan di saat yang sama masyarakat terus bertanya kapan terminal tersebut dibangun,'' ucap Jhon Syahputra. (ANT-RD/Btm1)
Komentar