Jakarta (ANTARA) - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan bahwa uang senilai Rp11,8 triliun yang disita dari PT Wilmar Group terkait dengan kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO), bukanlah uang jaminan.
Jawaban tersebut merupakan respons atas pernyataan PT Wilmar Group yang dirilis pada hari Rabu (18/6). Perusahaan itu mengatakan bahwa menempatkan uang Rp11,8 triliun tersebut ke dalam dana jaminan.
"Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi terkait dengan kerugian keuangan negara, tidak ada istilah dana jaminan. Yang ada uang yang disita sebagai barang bukti atau uang pengembalian kerugian keuangan negara," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar kepada wartawan di Jakarta, Kamis.
Baca juga: KPK nyatakan usut dugaan kasus korupsi pada kuota haji khusus tahun 2024
Karena perkara yang menyeret Wilmar ini masih berjalan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, kata dia, uang triliunan rupiah tersebut saat ini disita agar bisa dipertimbangkan dalam putusan pengadilan.
Lebih lanjut Kapuspenkum menegaskan bahwa penyitaan uang Rp11,8 triliun sudah mendapatkan persetujuan dari pengadilan.
"Kami juga menyitanya sudah mendapatkan persetujuan dari pengadilan dan jaksa penuntut umum (JPU) sudah memasukkan tambahan memori kasasi terkait dengan penyitaan uang tersebut," ujarnya.
Diketahui bahwa Kejagung menyita uang Rp11,8 triliun dari tersangka korporasi PT Wilmar Group dalam perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah atau CPO dan produk turunannya pada tahun 2022.
Uang triliunan rupiah tersebut disita dari lima anak perusahaan PT Wilmar Group, yaitu PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Baca juga: Imigrasi Batam deportasi empat WNA langgar aturan izin tinggal
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kejagung: Uang sitaan Rp11 triliun dari Wilmar bukan uang jaminan
Komentar