Riuh suara sumbang dalam PPKM Darurat di Kota Gurindam

id covid tanjungpinang

Riuh suara sumbang dalam PPKM Darurat di Kota Gurindam

Anggota DPRD Bintan Hasriawaldy menunjukkan logo Pemkab Bintan di papan pengumuman PPKM darurat yang diselenggarakan Pemkot Tanjungpinang. (ANTARA/Nikolas Panama)

Kritik terhadap kinerja Pemerintah Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dalam penanganan COVID-19 menggema di tengah masyarakat seiring pelaksanaan PPKM Darurat.

Jika ditelusuri, fakta-fakta dari peristiwa yang terjadi menunjukkan bahwa akar permasalahan terhadap penanganan COVID-19 di kota yang berjuluk sebagai Kota Gurindam itu bukan pada saat pelaksanaan PPKM Darurat, melainkan sebelumnya.

Pertama, pelaksanaan tracing, testing dan triatment atau penelusuran dan tes usap dengan metode antigen atau PCR terhadap orang-orang yang kontak dengan pasien positif COVID-19, dan pengobatan tidak berjalan dengan baik.

Cukup banyak warga Tanjungpinang yang positif COVID-19 berdasarkan hasil pemeriksaan nakes rumah sakit di RSUP Kepri maupun tes mandiri di klinik, yang tidak diperhatikan.

Bahkan sejumlah wartawan yang tertular COVID-19 ketika menjalankan tugas jurnalistik pun dibiarkan.

"Kami berobat sendiri. Teman-teman yang kontak kami pun tes usap mandiri. Sepertinya 3T yang selalu dikampanyekan tidak dilaksanakan," kata Albet, salah seorang wartawan di Tanjungpinang.

Laporan dari warga, salah satunya di kluster Perumahan Griya Senggarang pun sama. Sebanyak 32 orang di perumahan itu tertular COVID-19, namun masih ada di antara mereka bebas berkeliaran.

"Tidak ada penanganan khusus yang dilakukan pemerintah sehingga kami harus menyelamatkan diri dan keluarga kami sendiri agar tidak tertular COVID-19," kata Irul, warga perumahan itu.

Kekecewaan warga, terutama yang tertular COVID-19 tidak terbendung. Apalagi banyak pasien COVID-19 yang tidak dapat lagi dirawat di rumah sakit yang ada di Tanjungpinang, dengan alasan penuh.

"Sejumlah anggota keluarga saya positif COVID-19, dan bergejala seperti sesak nafas dan diare. Kami minta agar dirawat, tetapi ditolak karena penuh," ucap Oksep, warga KM 9 Tanjungpinang.

Bergeser dari rasa kecewa sejumlah warga. Beberapa pekan lalu, Wali Kota Tanjungpinang Rahma bersama timnya, melakukan razia COVID-19 di Pasar Bintan Centre. Razia itu heboh lantaran pedagang kaget dan mantan Wali Kota Tanjungpinang Lis Darmansyah menyampaikan protes keras terhadap aksi itu.

Razia itu mengagetkan lantaran sejumlah pintu pasar mendadak ditutup.

Lis, yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP DPRD Kepri menegaskan razia prokes dan tes antigen itu dibutuhkan, namun harus dengan cara-cara yang baik. Pemkot Tanjungpinang tinggal membuat satu posko untuk melakukan tes usap antigen sehingga tidak membuat suasana menjadi gaduh, dan pedagang merasa dirugikan.

"Pedagang itu bukan pencuri. Mereka bukan pelacur. Tidak perlu dilakukan cara-cara yang tidak baik seolah-olah mereka mau lari atau sebagainya. Mereka pasti mau tes usap antigen gratis," kata Lis protes di hadap Kepala Bappeda Tanjungpinang Surjadi.

Kemarahan Lis didengar oleh Rahma yang berada tidak jauh darinya. Rahma pun bereaksi meski tidak menyebutkan nama Lis. Ia menganggap seseorang yang melakukan protes itu menghalangi tugas Satgas Penanganan COVID-19, dan mencari panggung politik.

"Saya sebagai pemimpin di Tanjungpinang harus lindungi warga saya dari COVID-19. Kalau ada yang menghalangi berarti ikut membunuh," katanya.

Aksi Rahma mendapat tanggapan negatif dari sejumlah akademisi, salah satunya pengamat kebijakan publik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Alfiandri. Ia berpendapat razia protokol kesehatan dan tes usap secara acak di pasar itu seakan-akan mencari sensasi. Kegiatan penanganan COVID-19 semestinya sistematis, dan tidak menimbulkan efek negatif terhadap kehidupan pasar.

"Kalau pasien yang positif saja masih banyak yang terbiarkan, kenapa harus melakukan tes antigen di pasar atau di tempat lainnya. 3T itu dilaksanakan secara maksimal dan terukur sehingga membuahkan hasil yang positif untuk rakyat," ujarnya.


Tes antigen berbayar

Riuh terhadap penanganan COVID-19 di Tanjungpinang ternyata tidak menurunkan jumlah warga yang tertular virus itu sehingga kota ini ditetapkan sebagai satu dari 15 daerah yang melaksanakan PPKM Darurat diluar Pulau Jawa.

Kebijakan PPKM Darurat di Tanjungpinang pun menimbulkan rasa kurang simpati berbagai kelompok warga, terutama setelah tersiar kebijakan melakukan tes usap antigen berbayar Rp150.000. Tidak hanya berbagai elemen masyarakat di Tanjungpinang yang protes, melainkan juga masyarakat Kabupaten Bintan.

Tiga posko penyekatan di kawasan perbatasan antara Tanjungpinang dan Bintan, yakni di perbatasan KM 15 arah Tanjung Uban, KM 16 Sei Pulai dan perbatasan Dompak, Tanjungpinang dengan Wak Copek, Bintan. Berbagai peristiwa menunjukkan ada kegamangan petugas dalam melaksanakan PPKM Darurat.

Di perbatasan KM 15 arah Uban, kebijakan tes usap berbayar hanya dikenakan kepada orang-orang dari Bintan yang mau masuk ke Tanjungpinang, namun belum divaksinasi. Namun di sisi lain, ada warga Bintan yang melaporkan bahwa mereka wajib tes usap antigen jika ingin ke Tanjungpinang, meski sudah menunjukkan sertifikat vaksinasi.

Di Sei Pulai, perbatasan Tanjungpinang dan Bintan, pemberlakuan tes antigen khusus untuk warga Bintan, yang tidak memiliki kebutuhan esensial atau penting ketika ke Tanjungpinang. Namun praktiknya, salah seorang warga Bintan, yang menjadi tenaga pengajar di salah satu sekolah swasta di Tanjungpinang harus tes antigen ketika melewati posko penyekatan.

"Anak saya itu bekerja di salah satu sekolah di Tanjungpinang, lewat posko penyekatan wajib tes antigen. Kalau 10 kali lewat berarti harus 10 kali antigen," kata anggota DPRD Bintan, M Toha.

M Toha menyampaikan kritikan itu kepada Riono, yang mewakili Pemkot Tanjungpinang saat terjadi aksi penolakan antigen berbayar. M Toha bersama dua rekan kerjanya di DPRD Bintan yakni Hasriawaldy dan Tarmizi, dan sejumlah pengurus Lembaga Adat Melayu melakukan aksi penolakan antigen berbayar di lokasi penyekatan.

Hasriawaldy alias Gentong menegaskan hubungan kedua daerah sangat erat dalam berbagai sektor kehidupan. Dalam sektor perekonomian perdagangan, contohnya, ikan dan sayur-sayuran yang dijual di Tanjungpinang sebagian dari Bintan.

Kemudian 75 persen staf di Pemkab Bintan merupakan warga Tanjungpinang. Sebanyak 80 persen dari ribuan tenaga kerja di Bintan Alumina Indonesia di Galang Batang, Bintan, merupakan warga Tanjungpinang.

"Silahkan berlakukan kebijakan itu, tetapi gratis," kata Gentong, yang juga Ketua Fraksi Golkar DPRD Bintan.

Kemarahan Gentong dan massa semakin terlihat ketika logo Bintan terpajang dalam papan pengumuman posko penyekatan. Padahal yang melakukan penyekatan tersebut merupakan Pemkot Tanjungpinang.

"Ini 'kan nampak aneh, yang melakukan penyekatan Pemkot Tanjungpinang, tetapi logo Pemkab Bintan yang ditampilkan," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Riono menjelaskan kepada ketiga anggota legislatif bahwa kebijakan tes usap antigen di posko penyekatan untuk mencegah terjadi penularan.

Kimia Farma dilibatkan dalam melakukan tes usap antigen lantaran tenaga kesehatan di Tanjungpinang sudah kewalahan menangani pasien COVID-19 dan melaksanakan vaksinasi.

"Sejumlah nakes kami juga tertular COVID-19," kata Riono, yang juga mantan Sekda Tanjungpinang.



Kasus meningkat

Jumlah pasien COVID-19 mengalami peningkatan yang tinggi selama PPKM Darurat. Berdasarkan data 17 Juli 2021, jumlah pasien COVID-19 bertambah 220 orang sehingga menjadi 6.747 orang.

Selama pandemi, penambahan pasien tersebut rekor terbaru di Tanjungpinang. Sementara jumlah pasien yang sembuh 147 orang sehingga menjadi 4.895 orang.

Jumlah pasien yang meninggal dunia mencapai tujuh orang sehingga menjadi 189 orang. Sementara jumlah kasus aktif di Tanjungpinang mencapai 1.663 orang.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Kepri Tjetjep Yudiana mengatakan hampir seluruh daerah di Kepri mengalami kenaikan kasus aktif COVID-19 dalam 3-4 bulan terakhir. Namun, kasus tertinggi terjadi di Batam dan Tanjungpinang, diikuti Bintan dan Natuna.

Sementara Tanjungpinang, Batam dan Bintan ditetapkan sebagai Zona Merah, sedangkan Natuna, Karimun, Lingga dan Kepulauan Anambas sebagai Zona Oranye.

Masyarakat untuk sementara waktu diimbau  tidak keluar rumah jika tidak ada hal yang sangat mendesak. Ketika beraktivitas, diminta menerapkan protokol kesehatan secara ketat.*
 

Keterangan : Isi dan maksud tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab redaksi

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE