Penegasan Anambas-Natuna Hendaknya Bukan Demi DBH

id batas, peta, tegas, natuna, kepulauan anambas, provinsi, kepulauan riau, pemerintahan, umum, misbardi, nur, syafriadi, basri, amril

Batam (ANTARA News) - Aspirasi bagi penegasan peta batas wilayah antara Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna di Kepulauan Riau hendaknya demi kepastian dan tertib pengelolaan wilayah, bukan semata-mata dilatari kepentingan terhadap persentase dana bagi hasil minyak dan gas bumi Laut China Selatan serta Laut Natuna, Kepulauan Riau.

Jika hanya fokus pada DBH migas, mungkin kedua kabupaten akan kecewa sebab rata-rata dari sumur migas berada di luar 4 mil laut dari garis pantai terluar kabupaten, dan bahkan di atas 12 mil laut atau di luar batas wilayah kewenangan provinsi, kata Kabag Pemerintahan Umum Biro Pemerintahan Pemprov Kepulauan Riau, Misbardi, ketika bersama Gubernur Kepulauan Riau, H Muhammad Sani, meninjau Pulau Pekajang Kecil, Kabupaten Lingga, Senin (23/05).

Di Pulau Pekajang Kecil sejak 2008 berdiri tugu Survei Batas Daerah Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Bangka Belitung yang dibuat tim Kementerian Dalam Negeri untuk acuan penarikan penetapan batas 12 mil perairan kedua provinsi bertetangga.

Aspirasi bagi penetapan penegasan batas, kini muncul di dalam Provinsi Kepri sendiri yang disuarakan Pemerintah Kepulauan Anambas setelah tiga tahun tidak lagi menjadi bagian dari Kabupaten Natuna.

Pemerintah Kabupaten Anambas mengharapkan Menteri Dalam Menteri dengan difasilitasi Gubernur Kepulauan Riau segera menetapkan batas wilayah antara Kabupaten Kepulauan Anambas dan Natuna.

Bagi Kepulauan Anambas, penegasan itu diyakini akan berdampak positif dalam memperbesar porsi pembagian dana bagi hasil minyak dan gas bumi(DBH migas).

"Penetapan penegasan batas wilayah, bagi kami penting sebab sumur gas lepas pantai yang dieksploitasi empat perusahaan berada di wilayah laut Kepulauan Anambas," kata Kadis Pendapatan Daerah Kepulauan Anambas, Amril A Gani, di Tarempa, ibukota Kepulauan Anambas, 29 April 2011.

Menurut versi Kepulauan Anambas, hanya Blok D-Alpha yang berada di wilayah Natuna.

"Kami tidak ingin ibarat anak lahir, induk mati. Karena itu, sampai sekarang dari DBH migas, Natuna mendapat 65 persen, sedang Kepulauan Anambas 35 persen atau Rp600 miliar per tahun," kata Kadispenda Kepulauan Anambas.

Semula Kepulauan Anambas menginginkan porsi 40 persen, tetapi kemudian sepakat 35 persen karena jumlah penduduk, pegawai dan kebutuhan biaya pembangunan di Natuna lebih banyak ketimbang di Kepulauan Anambas.

Dewasa ini, jumlah penduduk Kepulauan Anambas pun telah sekitar 60 ribu jiwa dan jumlah pegawai negeri di kabupaten itu pun terus meningkat sehingga porsi pembagian dari DBH migas perlu diubah menjadi 50:50 persen.

"Ini yang kami maksudkan sebagai pendekatan untuk kesejahteraan bersama. Kalau Kepulauan Anambas rakus, pasti ingin 100 persen saja," katanya.

Kabupaten Kepulauan Anambas berdiri berdasarkan Undang-Undang No 33/2008 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Natuna.

Adapun Natuna lebih dulu lahir berdasarkan UU No 52/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupatan Kuantan Singingi dan Kota Batam.

Berdasarkan Permendagri No 1/2006 tentang Batas Wilayah, gubernur berwenang menentukan batas wilayah laut dua kabupaten dari garis tengah di antara pulau terluar untuk kemudian ditetapkan Menteri Dalam Negeri.

Penetapan oleh Mendagri sangat diharapkan Pemkab Kepulauan Anambas karena peta batas wilayah dalam lampiran Undang-Undang No 33/2008 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas baru berupa sketsa, ujar Amril.

Bukan hanya perbatasan dengan Natuna, kata Amril, "Kami berharap pemerintah pusat menyelesaikan masalah perbatasan laut Republik Indonesia di Anambas dengan negara tetangga."

Wilayah penghasil

Kabag Pemerintahan Umum Biro Pemerintahan Pemprov Kepri, Misbardi, mengemukakan, hingga sekarang pemerintah pusat membagi DBH migas 65 persen untuk Natuna dan 35 persen.

Persentase itu, bukan karena sumur-sumur migas berada di dalam wilayah Kepulauan Anambas atau Natuna, melainkan merupakan kebijakan politis dengan menimbang kedekatan pada wilayah (Natuna dan Anambas), katanya.

Ia menggarisbawahi "alasan politis" pemerintah pusat seyogyanya menjadi perhatian Pemerintah Kabupatan Kepulauan Anambas maupun Kabupaten Natuna, sebab bila mengacu pada peta tegas nanti, bisa gigit jari.

Wilayah eksploitasi sumur-sumur migas itu, katanya, rata-rata di atas 12 mil laut Kepri sehingga baik Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna dan Provinsi Kepulauan Riau dinyatakan bukan daerah penghasil.

Sementara itu di Ranai, ibu kota Natuna pada 4 Mei 2011, Kadistamben Kabupaten Natuna, Basri, mengemukakan blok sumur migas masih di posisi Natuna.

"Itu fakta. Maka, pemerintah pusat belum menerbitkan kebijakan baru kecuali membagi DBH migas 65 persen untuk Natuna dan 35 untuk Anambas," katanya.

Basri sependapat dengan Misbardi bahwa porsi pembagian itu merupakan kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Ia menyatakan, Kementerian ESDM tidak menyebut pembagian 65:35 persen itu dari sumur mana, melainkan memberlakukan dari satu sumur dan satu kontraktor.

Sumur-sumur migas di Blok Barat, katanya, meski tampak lebih dekat ke Anambas, yang paling dekat jaraknya 59 mil laut.

Oleh karena itu, bagi Natuna, koordinat dan peta dalam lampiran UU No 33/2008 wilayah Kepulauan Anambas sudah jelas sehingga pemikiran bahwa dengan penegasan batas wilayah maka Kepulauan Anambas akan berhak mendapat porsi lebih, agaknya kurang tepat, kata Basri.

Menurut dia, pelaksanaan penegasan batas wilayah kabupaten lebih baik dilatari pada kehendak bersama untuk mendapat kepastian kewenangan pengelolaan tertib administrasi pemerintahan.

"Semua harus berjalan sesuai dengan aturan, dan sumber daya alam pun harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," kata Basri.

Hingga dewasa ini Pulau Palmatak di Kabupaten Kepulauan Anambas menjadi base camp empat perusahaan migas yaitu ConocoPhillips Indonesia Inc, Premier Oil Natuna Sea BV, Star Energy Ltd, dan Pertamina-PT Pertalahan Arnebatara Natuna(PAN).

Selain itu, terdapat pula tujuh perusahaan yang dalam tahap eksplorasi yaitu Genting Oil Pte Ltd di Blok North West Natuna, Indoreach Exploration Ltd, Lundin Oil and Gas BV di Blok Baronang dan Kakap, Pear Oil di Blok Kerapu, San Yen Oil and Gas Pte Ltd West Natuna (dulu Blok Anambas), West Natuna Exploration Ltd di Blok Duyung, serta Pertamina yang bermitra dengan Exxon, Petronas dan Total di Blok D-Alpha.

Dari 11 wilayah eksploitasi dan eksplorasi migas itu, hanya Blok D-Alpha yang masuk wilayah Kabupaten Natuna, kata Amril.

Sedangkan menurut Basri, Blok D-Alpha, di timur laut, berada di palung yang jaraknya 200 mil laut dari daratan Natuna, sehingga pembicaraan mengenai penetapan penegasan batas wilayah Kepulauan Anambas dan Natuna dikaitkan hanya untuk kepentingan DBH Migas, tidak relevan.

Blok D-Alpha ditemukan Esso pada 1973 yang kemudian bergabung dengan Exxon. Palung itu diperkirakan menyimpan 46 triliun kaki kubik (TCF) gas, terbesar di Asia Pasifik.

Ketua DPRD Kepulauan Riau, Nur Syafriadi mengemukakan, pembagian persentase 65:35 DBH migas sudah disepakati kedua pemkab dan belum mengemuka masalah yang memerlukan camur tangtan legislatif.

"Tetapi, memang Gubernur perlu memfasilitasi penetapan batas laut kedua kabupaten tersebut," kata Nur.

Sementara ini, katanya, yang terus diusahakan DPRD Kepri adalah meminta pemerintah pusat menambah jumlah DBH migas supaya signifikan bagi pemenuhan biaya pembangunan kedua kabupaten tersebut.

Gubernur Sani ketika di Tarempa untuk membuka Seleksi Tilawatil Quran IV tingkat Provinsi Kepulauan Riau mengatakan akan segera memfasilitasi penegasan batas wilayah antara Kepulauan Anambas dan Natuna.

Anggota DPRD Kepri dari daerah pemilihan Natuna, Fahmi Fikri menilai, setelah 12 tahun menjadi kabupaten, kemajuan Natuna belum signifikan, khususnya berupa fasilitas umum di Kota Ranai, walaupun dalam beberapa tahun APBD kabupaten itu rata-rata sudah Rp1 triliun.

Di Kota Ranai, misalnya, belum ada terminal kendaraan angkutan umum, pasar moderen, pelabuhan bongkar muat dan bandara dengan pintu masuk-keluar penumpang sipil terpisah dari gedung Pangkalan TNI Angkatan Udara Ranai.

Fahmi berharap, dalam lima tahun kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati yang baru, Ilyas Sabli dan Imalko, fasilitas-fasilitas umum itu dibangun, dan jalan sepanjang tiga kilometer ke arah bandara diperlebar.

Ia pun mengharapkan base camp untuk ladang gas Blok D-Aplha yang dikelola Pertamina bersama Exxon, Total dan Petronas, kelak dibangun di Desa Teluk Buton, Pulau Natuna, tidak di Pulau Palmatak yang kini masuk wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas.

(ANT-JSB/Btm1)

Editor: Jo Seng Bie
COPYRIGHT © ANTARA 2025


Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE