Semangat wanita Desa Berakit menjaga Mangrove dan keluarga

id kongservasi mangrove, hutan mangrove, perempuan worrior mangrove, desa berakit, kabupaten bintan, kepulauan riau,Kepri, bintan Oleh Laily Rahmawaty

Semangat wanita Desa Berakit menjaga Mangrove dan keluarga

Monika (62), nelayan perempuan asal Kampung Panglong, Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, berbagi cerita tentang merawat mangrove, Kamis (13/3/2025). (ANTARA/Laily Rahmawaty)

Batam (ANTARA) - Siang itu, Monika (62) tengah duduk santai di balai-balai di ujung dermaga Kampung Panglong, Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pada siang hari begitu, seharusnya menjadi jam istirahat tidurnya, karena nanti malam dia harus turun ke laut untuk mencari teripang atau gamat.

Melaut sudah menjadi pekerjaan sehari-hari nenek enam orang cucu itu sejak belia, karena orang tuanya merupakan Suku Laut. Dia pernah merasakan tinggal mengapung di atas laut, dan kini sudah tinggal di darat.

Sejak menikah dengan Top (63), suaminya yang juga seorang nelayan pencari kepiting. Monika tidak pernah meninggalkan pekerjaannya pergi melaut, kecuali kalau badannya sakit dan cuaca buruk.

Pekerjaan itu dilakoninya, selain karena sudah menjadi profesi, juga untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Baginya, penghasilan suami yang terbatas hanya untuk menghidupi keluarga, sementara ia memiliki kebutuhan sendiri yang tidak ingin membebani suaminya, seperti membeli barang (emas) dan untuk belanja cucu.

Ia aktif melaut di malam hari, bersama nelayan perempuan lainnya di Panglong, menggunakan sampan menuju pulau seberang. Sementara suaminya melaut di pagi hari khusus mencari kepiting di hutan bakau (Mangrove) yang ada di seberang pulau. Dari penghasilan suami per hari, kalau sedang banyak mendapat kepiting bisa mengumpulkan uang Rp200 ribu sampai Rp300 ribu, kalau sepi cuma Rp100 ribu.

Sementara itu, dari penghasilan Monika mencari gamat, dan harus melalui masa pemprosesan, memakan waktu 10 hari, dia mendapatkan hasil Rp1 juta.

Selain aktif melaut, nenek berkulit sawo matang itu juga merupakan anggota Kelompok Usaha Masyarakat Panglong bersama empat perempuan nelayan lainnya di desa tersebut. Kelompok itu diketuai oleh Iskandar dan wakilinya Slamet, juga sama-sama nelayan, yang bergerak di usaha kepiting, serta konservasi mangrove.

Sejak September 2024, Monika bersama rekannya, Kristina (40), Hariyah (45), Norma (54), dan Muliana (42), tidak hanya melaut mencari gamat dan kerang, tapi juga aktif mencari bibit bakau atau mangrove untuk dikumpulkan dan disemai, lalu ditanam kembali.

Kelompok usaha masyarakat Panglong juga memiliki tempat persemaian, walaupun tidak berukuran besar yang saat ini mampu menampung 4.000 bibit Mangrove jenis Rhizophora stylosa. Rencananya bibit tersebut akan ditanam di area konservasi mangrove di Desa Berakit pada April 2025, usai Idul Fitri.

“Saya ini kalau tidak melaut tidak enak. Uang suami ada, tapi kan terbatas. Kalau kite pake buat beli barang kan segan, suami dah susah-suah nyari duit. Saya punya kebutuhan sendiri, nak bagi cucu, pergi berjalan, tidak enak kalau menyusahkan suami,” kata Monika dalam logat Melayunya, saat ditemui ANTARA di Desa Berakit, Bintan, Kamis (13/3).

Sejumlah ibu-ibu anggota Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, memperkenalkan batik hasil karya terbut dari bahan perwarna alami hutan mangrove dan motif hutan bakau, Kamis (13/3/2025). (ANTARA/Laily Rahmawaty)

Menjaga Mangrove

Kesadaran akan pentingnya keberadaan mangrove telah tertanam dalam diri Monika dan rekan-rekannya sesama nelayan. Ketika hutan mangrove ditebang untuk keperluan ekonomi, seperti kayu bakar dan pengembangan proyek pariwisata telah berdampak pada kerusakan ekosistem dan habitat biota laut di daerah itu.

Para nelayan kesulitan untuk mencari ikan, gamat, kepiting, kerang. Mereka harus melaut lebih jauh lagi untuk bisa mendapatkan hasil tangkapan yang mencukupi agar dapur tetap mengebul.

Awal tahun 2000, aktivitas penebangan hutan mangrove untuk kayu bakar dihentikan seiring ditutupnya dapur pembakaran kayu bakau di Kampung Panglong, serta ditetapkan hutan mangrove di Desa Berakit, Kabupaten Bintan, sebagai kawasan konservasi menjadi pijakan bagi Monika dan rekan-rekan nelayan untuk terus berjuang menjaga kelestarian mangrove.

Gerakan menjaga mangrove tidak hanya dilakoni oleh Monika dan rekannya, tetapi juga meluas ke sejumlah RW di Desa Berakit, hampir 40 perempuan dari berbagai profesi, mulai dari ibu rumah tangga, guru, nelayan, pemilik warung, usaha jahit dan pemilik usaha kue, terlibat dalam aksi nyata melindungi dan menjaga hutan bakau.

Mereka, di antaranya Mujiastuti (45), janda pemilik usaha kue, Suryana (34) berprofesi sebagai guru honorer, Nurlama Sari (28) pedagang pempek, Meli Indra Dewi(40) pemilik usaha jahit dan Sudarni (29), nelayan. Perempuan-perempuan yang dijuluki “worrior mangrove” ini tergabung dalam Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP). Total ada 2 KUEP yang terbentuk di Desa Berakit, yakni KUEP Tenggiri dan KUEP Melati.

KUEP Melati fokus pada usaha produksi aneka kue, sedangkan KUEP Tenggiri sedang merintis usaha olahan bakso ikan dan sebagainya.

Ketua KUEP Tenggiri Ayu Narti (45) menceritakan motivasinya dan rekan-rekan turut terlibat dalam konservasi mangrove adalah membantu suaminya menambah uang guna memenuhi kebutuhan harian. Karena, profesi nelayan ada masa paceklik, terutama di musim angin utara dari Desember sampai April.

Selama musim angin utara, para nelayan tidak turun melaut, karena berbahaya untuk kapal tradisional, dapat mengancam keselamatan. Beberapa nelayan beralih profesi sebagai buruh harian, seperti pekerja bangunan. Begitu pun suami Ayu Narti.

Ibu beranak dua itu pun turut berjibaku menambah penghasilan rumah tangga, bekerja menjahit bersama rekannya Meli Indra Dewi. Dari pekerjaan itu dia bisa mendapatkan upah hingga Rp1,5 juta per bulan jika sedang banyak pesanan baju yang masuk.

Di antara semua pekerjaan yang dilakoni mereka, perempuan-perempuan tanggung itu bersemangat ketika menceritakan pengalamannya menanam bibit mangrove di lokasi persemaian. Mujiastuti yang harus menderita gatal-gatal di kaki selama satu bulan, saat menyusuri lumpur di hutan bakau, mengaku tidak menyesal untuk terus bertungkus lumus dengan mangrove.

Total ada 46 ribu bibit mangrove yang siap ditanam tersimpan di arena persemaian yang ditanam oleh Mujiastuti dan kawan-kawan. Meski harus berpanas-panasan dan gatal-gatal kena lumpur laut, Mujiastuti dan kawan-kawan mengatakan usaha menjaga mangrove dan melindunginya mereka lakukan bersama para suami.

“Yang nyari bibit bapak-bapak nelayan, kami yang menyemai dan menanamnya,” kata Mujiastuti.

Pendampingan

Upaya perempuan Desa Berakit menjaga dan melindungi mangrove tidak bergerak sendiri. Secara intensif mereka didampingi Yayasan Ecology Kepulauan Riau (YEKR), didukung oleh Yayasan CARE Indonesia, dan termonitor oleh pemerintah daerah.

Mereka dilatih untuk mencari bibit, menyemai, dan menanam mangrove. Selain itu, mereka juga dibekali kemampuan sebagai pengawas dan peningkatan keahlian untuk mengembangkan potensi ekonomi dari mangrove yang lebih ramah lingkungan, seperti membatik menggunakan pewarna alami dari bakau, dan membuat olahan kue dari buah bakau.

Dari upaya ini juga terbentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Srikandi yang diketuai oleh Abdul Malik (54). Dalam struktur kelompok ini juga terdapat kesetaraan gender, beranggotakan 14 orang laki-laki dan dua perempuan, salah satunya Romana Rebo (46), yang akrab disapa Kak Ros.

Kak Ros merupakan anggota Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) Berakit, berperan menjadi jembatan untuk menampung aspirasi warganya, terutama suara kaum perempuan.

Bersama dengan Pemerintah Desa Berakit, Kak Ros acap turun ke masyarakat, mengecek lokasi persemaian, memastikan bibit mangrove yang ditanam oleh ibu-ibu desa itu tetap terjaga hingga bisa ditanam pada April mendatang.

Total ada 65 hektare luas areal kawasan mangrove yang butuh ditanami kembali, namun 46 ribu bibit yang disemai ibu-ibu KUEP baru bisa menutupi satu hektare kawasan yang terdegradasi.

Kepala Bidang Kelautan Konservasi dan Pengawasan Dinas Kelautan Perikanan Kepri Raja Taufik Zulfikar menyampaikan, luas kawasan konservasi perairan di wilayah timur Pulau Bintan mencapai 138.661,420 hektare.

Raja mengatakan kawasan konservasi yang dibuat dan dikelola, tujuannya adalah untuk menjaga ekosistem perairan, seperti terumbu karang, lamun dan mangrove sebagai tempat tumbuh dan berkembang biaknya ikan, sehingga di dalam kawasan itu dilindungi agar ikan berkembang secara alami.

DKP Kepri mengajak semua pihak menjaga kawasan konservasi tersebut, baik itu laki-laki perempuan, maupun kaula muda, terutamanya diharapkan warga yang ada di sekitar kawasan konservasi karena mereka yang merasakan langsung dampaknya.

DKP sangat berterima kasih atas keterlibatan perempuan di konservasi mangrove. Dengan adanya ibu-ibu Desa Berakit peduli, kemudian mereka membentuk kelompok, memudahkan pemerintah daerah dalam pembinaan, dibandingkan perorangan.

Kepedulian para ibu di Desa Berakit menjadi contoh bagaimana masyarakat, khususnya kaum perempuan, untuk menjadi agen perubahan, dalam hal ini perubahan untuk menjaga lingkungan tetap lestari.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Semangat perempuan Desa Berakit menjaga Mangrove dan keluarga

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE