Tanjungpinang (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Tanjungpinang bersama Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), serta akademisi membahas tantangan etika jurnalisme di era kecerdasan buatan atau Artificial intelligence (AI).
"Di tengah laju pesat transformasi digital, jurnalisme yang beretika dan bertanggung jawab adalah fondasi yang tak boleh digoyahkan," kata Ketua AJI Tanjungpinang Sutana dalam seminar bertajuk Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Pers dalam rangka World Press Freedom Day (WPFD) 2025 di Tanjungpinang, Senin.
Sutana menyampaikan tantangan etika jurnalisme di era AI mencakup beberapa aspek penting, antara lain kredibilitas dan akurasi, yakni AI bisa membantu dalam pengumpulan dan analisis data, namun juga memunculkan risiko kesalahan jika data yang digunakan tidak akurat atau jika algoritma tidak dirancang dengan baik.
Kemudian, ada pula privasi dan keamanan data, jurnalisme yang menggunakan AI harus memastikan privasi dan keamanan data sumber dan informasi yang dikumpulkan, serta mematuhi regulasi perlindungan data yang berlaku.
Berikutnya, ketergantungan yang terlalu besar pada AI dapat mengurangi kemampuan analisis kritis dan kreativitas jurnalis, serta mengancam keberagaman perspektif dalam peliputan berita.
Selanjutnya etika penggunaan AI, jurnalis harus memiliki pedoman etika yang jelas tentang bagaimana AI digunakan dalam proses jurnalistik, termasuk penggunaan AI untuk menghasilkan konten atau dalam proses editorial.
AI juga dapat mengubah dinamika pekerjaan jurnalistik, termasuk potensi pengurangan pekerjaan atau perubahan peran. Ini perlu dikelola dengan bijak untuk memastikan kesejahteraan jurnalis.
"Dengan memahami dan mengatasi tantangan-tantangan ini, industri jurnalisme dapat memanfaatkan potensi AI sambil menjaga integritas dan kualitas peliputan berita," kata Sutana.
Sementara, akademisi STAIN Sultan Abdurrahman Kepri, Abdul Rahman menyoroti bagaimana AI berpotensi menjadi game changer di dunia jurnalistik.
Menurutnya dari otomatisasi penulisan berita hingga analisis big data yang mendukung liputan investigatif, AI dinilai mampu mengakselerasi kerja jurnalistik.
Namun, ia memperingatkan bahwa teknologi ini juga membuka ruang tantangan baru. AI bisa memperkuat jurnalisme, tetapi juga berisiko memunculkan bias algoritma yang justru melemahkan objektivitas berita.
"Akademisi harus mengambil peran aktif mengawasi agar AI berkembang sesuai nilai-nilai demokrasi dan hak asasi,” ujar Dosen Prodi KPI STAIN Sultan Abdurrahman ini.
Kepala diskominfo Kepri Hasan memaparkan beberapa prinsip etika yang wajib dijadikan pegangan dalam pengembangan dan pemanfaatan AI, antara lain nilai inklusivitas yang harus memastikan AI tidak mendiskriminasi siapa pun, lalu nilai kemanusiaan yang menjunjung hak asasi, serta nilai keamanan yang menjamin perlindungan privasi serta data pribadi.
“AI adalah alat yang harus bekerja di bawah koridor hukum dan nilai-nilai sosial kita. Jangan sampai inovasi ini malah menjadi ancaman karena abai terhadap prinsip dasar perlindungan hak,” ucap Hasan.
Akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Nicolas Panama menyampaikan perspektif praktis dari ruang redaksi. Ia mengulas fenomena bagaimana banyak media kini memanfaatkan AI untuk meningkatkan efisiensi produksi konten.
Nicolas juga menekankan AI bukan pengganti naluri jurnalistik. Kontrol manusia tetap vital, mulai dari tahap riset hingga verifikasi akhir.
"Hal yang harus diingat, jangan sampai pemanfaatan AI melahirkan jurnalis dan editor pemalas," katanya.
Komentar