Sering kita melihat papan reklame ataupun spanduk di pinggir jalan yang kurang lebih berbunyi “Pajak untuk pembangunan dengan dilengkapi siluet gambar gedung, jalan jembatan ataupun bendungan.”
Memang tidak ada yang salah dengan isi papan reklame ataupun spanduk tersebut, tetapi pernahkah kita berpikir bagaimanakah proses atau tahap apakah yang dilalui agar uang pajak yang kita bayarkan bisa berubah menjadi gedung, jalan, jembatan dan lainnya.
Pertanyaannya adalah, instansi apa saja yang terlibat dalam proses tersebut, bagaimana dana itu ditampung dan dikucurkan, siapakah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan sebuah proyek dan siapakah yang mengawasi penggunaan dana dan pelaksanaannya, inilah yang harus dijawab .
Agar dana pajak dapat berubah menjadi gedung, jalan, jembatan, waduk dan fasilitas umum lainnya maka harus masuk dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Apa itu APBN?
Banyak definisi tentang APBN, misalnya dikutip dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam Bab I, pasal 1, angka 7 menyebut, APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Sementara itu berdasarkan Bab III pasal 11 ayat 2, APBN terdiri dari atas anggaran pendapatan, anggaran belanja dan pembiayaan. Pendapatan negara terdiri dari atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak (PNBP) dan hibah.
Sedangkan menurut pasal 12 ayat 1 Undang –Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, mendefiniskan pendapatan negara sebagai hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
Belanja negara didefiniskan sebagai kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Pembiayaan didefinisikan sebagai penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Penyusunan APBN
Sebagaimana definisi APBN sebagai rencana keuangan, maka APBN perlu disusun dan dibahas terlebih dahulu sebelum mendapat persetujuan DPR. APBN dapat dipandang sebagai dokumen administratif tetapi dapat juga dipandang sebagai dokumen politik.
Sebagai dokumen administratif APBN merupakan hasil perumusan para teknokrat dan para birokrat yang disusun secara botton up dan top down. Secara Top Down APBN disusun setelah asumsi makro dirumuskan dan pagu indikatif serta kebijakan umum penyusunan APBN diumumkan untuk menjadi pedoman kementerian/lembaga dalam menyusun anggarannya.
Secara buttom up disusun dari usulan rencana kerja anggara satuan kerja yang diakumulasi secara berjenjang dari satuan kerja (satker) terendah sampai unit eselon I dan tingkat kementerian/lembaga.
Sebagai dokumen politik, APBN juga sebagai bentuk implementasi dari visi dan misi presiden/wakil presiden ketika melakukan kampanye. Janji dan prioritas presiden dalam pemerintahan akan tercermin dalam penyusunan APBN.
Visi dan misi presiden dimasukan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), selanjutnya RPJM akan dijabarkan kedalam rencana kerja pemerintah (RKP) yang ditetapkan setiap tahun. Berdasarkan RKP tersebut APBN kemudian disusun dan diajukan oleh Presiden pada saat presiden menyampaikan nota keuangan di depan sidang paripurna DPR pada bulan agustus setiap tahun.
Dalam penyusunan ini melibatkan Bappenas, Kementerian Keuangan dan kementerian/lembaga terkait. Selanjutnya RABPN memasuki tahap pembahasan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Penetapan APBN
Secara umum pembahasan RAPBN antara pemerintah dan DPR dapat dibagi 2 (dua) yaitu pembahasan di tingkat komisi dan pembahasan di tingkat Badan Anggaran (Banggar). Pembahasan di tingkat komisi dilakukan antara kementerian/lembaga terkait dengan mitra kerja komisi di DPR. Sebagai contoh komisi III membawahi bidang hukum, untuk itu anggaran kementerian/lembaga di bidang hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, kementerian hukum dan HAM, anggarannya akan dibahas secara mendetail di komisi III, demikian pula untuk komisi lainnya, akan membahas anggaran bersama mitra kerja masing-masing. Hasil kesepakatan pembahasan di tingkat komisi akan diajukan pada pembahasan tingkat Badan Anggaran (banggar).
Banggar adalah merupakan alat kelengkapan DPR yang keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil tiap-tiap komisi yang dipilih dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi. Pembahasan anggaran di tingkat Badan Aggaran (Banggar) DPR diwakili Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah.
Dalam pembahasan ini Banggar bertugas menetapkan pendapatan negara bersama pemerintah mengacu pada usulan komisi terkait. Selanjutnya Banggar juga membahas RAPBN bersama-sama Presiden yang dapat diwakili Menteri Keuangan dengan mengacu keputusan rapat kerja komisi dan pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program dan kegiatan kementerian/lembaga.
Hasil pembahasan dan kesepakatan di tingkat komisi dan Banggar selanjutnya dibawa ke paripurna untuk mendapat penetapan/persetujuan dari RAPBN menjadi APBN dan sekaligus persetujuan Rancangan Undang-undang APBN menjadi Undang-undang APBN. Tugas pemerintah setelah APBN disetujui oleh DPR adalah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang rincian APBN yang diterbitkan oleh Presiden.
Pelaksanaan APBN
Setelah menerbitkan Perpres rincian APBN maka langkah selanjutnya penerbitan Daftar Isian Pelaksanaan Anggara (DIPA). Berdasarkan Peraturan Menteri keuangan nomor 190 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Bab I pasal angka 2 DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anngaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN. Menteri/Pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran (PA) berwenang :
a) Menunjuk kepala Satker yang berstatus Pegawai Negeri Sipil untuk melaksanakan kegiatan kementerian negara/lembaga sebagai Kuasa Pengguan Anggaran (KPA); dan
b) Menetapkan pejabat perbendaharaan negara lainnya.
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara /Lemabaga.
Sementara Pejabat Perbendaharaan lainnya tersebut adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM). PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. Sedangkan PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. Kewenangan PA untuk menetapkan pejabat perbendaharaan dilimpahkan kepada KPA.
Pelaksanaan APBN ditandai dengan diterimanya dokumen DIPA oleh Kuasa Pengguna Anggaran. Setelah menerima DIPA KPA bersama PPK menyusun rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai output kinerja yang tercantum dalam DIPA. Apabila dalam pemenuhan pencapaian output membutuhkan rekanan penyedia jasa/barang maka PPK dapat membuat komitmen kepada penyedia jasa/barang.
Untuk nilai tertentu PPK dalam melakukan pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan dengan cara pelelangan sesuai dengan Peraturan Presiden yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dalam rangka pengadaan barang dan jasa ini pemerintah telah membentuk Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Lembaga pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di setiap kementerian/lembaga maupun di setiap pemerintah daerah.
Setelah melakukan penunjukan penyedia barang/jasa baik melalui lelang maupun non lelang, langkah selanjutnya PPK melakukan tandatangan perikatan (baik berupa kontrak, surat perintah kerja (SPK) atau bentuk lain) dengan pihak rekanan/ penyedia barang dan jasa. Paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah melakukan tanda tangan kontrak PPK wajib menyampaikan ringkasan kontrak kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk dicatat sebagai komitmen yang mengikat pagu anggaran satuan kerja (satker) bersangkutan.
Rekanan/penyedia barang/jasa yang telah melaksanakan kewajibannya yang tertuang dalam kontrak/SPK akan meminta hak mereka dengan mengajukan tagihan kepada PPK.
PPK melakukan penelitian dan pengujian atas tagihan yang diajukan pihak rekanan/ penyedia barang dan jasa. Apabila tagihan tersebut telah memenuhi persyaratan, selanjutnya PPK akan menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada PPSPM.
Setelah menerima SPP beserta kelengkapannya dari PPK, PPSPM akan melakukan pengujian dan penelitian atas SPP yang diajukan. Apabila SPP yang disampaikan PPK sudah sesuai ketentuan berdasarkan pengujian PPSPM, selanjutnya PPSPM akan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) untuk disampaikan ke KPPN.
KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara (BUN) untuk melaksanakan fungsi sebagai Kuasa BUN. Sedangkan Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan.
Secara garis besar pembayaran belanja pemerintah melalui KPPN dibagi dalam 2 (dua) kategori yaitu pembayaran secara langsung (LS) dan pembayaran melalui uang persediaan (UP).
Pembayaran secara langsung adalah Pembayaran yang dilakukan oleh KPPN sebagai kuasa BUN langsung ke kepada Bendahara pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui SPM Ls. Uang Persediaan adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkab uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/satker kementerian negara/lembaga.
KPPN setelah menerima SPM dari satker mitra kerja akan melakukan penelitian dan pengujian atas SPM yang diajukan. Pengujian SPM secara garis besar terdiri dari penelitian kelengkapan dokumen pendukung SPM dan penelitian atas kebenaran SPM. Apabila dalam penelitian dimaksud SPM telah memenuhi persyaratan selanjutnya KPPN akan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). SP2D ini pada dasarnya adalah perintah kepada Bank Operasional Mitra Kerja KPPN untuk mencairkan/mentransfer sejumlah dana sebagaimana tercantum dalam SP2D kepada rekening pihak yang ditunjuk dalam SP2D. Dengan diterbitkannya SP2D maka alokasi dana yang tercantum dalam DIPA satker yang bersangkutan akan terkurangi sebesar SPM/SP2D yang diterbitkan. Demikian kegiatan tersebut berlangsung selama 1 (satu) tahun anggaran.
Pengawasan dan pertanggungjawaban APBN
Tahapan selanjutnya dalam siklus APBN, setelah pelaksanaan APBN adalah pertanggungjawaban APBN. Setiap satker setiap tahun diwajibkan menyusun laporan keuangan minimal 2 (dua) kali yaitu laporan keuangan semester I dan Laporan keuangan tahunan. Laporan keuangan tingkat satker kemudian akan dikonsolidasikan ke tingkat wilayah, terus ke tingkat eselon I sampai dengan tingkat kementerian/lembaga atau Laporan Keuangan Kementerian/ Lembaga (LKKL). Disisi lain KPPN sebagai kuasa BUN Daerah juga menyusun laporan tingkat kuasa BUN Daerah yang kemudian juga dikonsolidasikan ke tingkat pusat menjadi Laporan Keuangan Kuasa BUN (LKBUN). LKKL dan LKBUN kemudian dikompilasi/ digabung menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Agar pelaksanaan APBN akuntabel maka pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN harus diawasi dan diaudit oleh lembaga yang kredibel. Aparat/lembaga pengawasan secara garis besar dapat dibagi 2 (dua) yaitu aparat pengawas internal dan ekternal. Pengawas internal adalah pengawas yang berasal dari internal instansi/kementerian/lembaga itu sendiri. Sebagai contoh untuk pengawas instansi dapat dilakukan oleh Kepala Kantor/KPA dari masing-masing satker ataupun petugas yang ditunjuk oleh kepala kantor, pengawas internal kementerian/lembaga adalah Inspektorat/deputi pegawasan dari suatu lembaga, sedangkan aparat pengawas internal pemerintah adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sementara itu untuk pengawas Eksternal adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Setiap tahun BPK melakukan audit atas pelaksanaan APBN/APBD maupun LKPP/LKPD, hasil audit BPK atas laporan keuangan menghasilkan opini BPK. Ada 4 (empat) opini BPK atas hasil audit sebuah laporan keuangan yaitu tidak wajar, disclaimer (tidak memberikan pendapat), wajar dengan pengecualian (WDP) dan terakhir WTP (wajar tanpa pengecualian). Hasil Audit BPK atas laporan keuangan kementerian/lembaga maupun laporan keuangan pemerintah pusat akan disampaikan BPK kepada DPR.
Apa tugas kita?
Dari tulisan di atas, kita dapat mengetahui bahwa uang pajak yang dibayarkan masyarakat untuk menjadi infrasturktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan membutuhkan tahapan yang cukup panjang dan melibatkan instansi pemerintah maupun non pemerintah yang begitu banyak. Tugas kita semua untuk ikut bertanggungjawab atas pelaksanaan APBN dengan cara antara lain :
1. Melaksanakan kewajiban perpajakan kita dengan sebaik-baiknya dengan membayar pajak secara tepat waktu dan tepat jumlah;
2. Menggunakan fasilitas umum yang dibiayai negara dengan efektif dan efisien, jangan melakukan pemborosan penggunaan air, listrik ataupun bahan bakar yang disubsidi negara;
3. Ikut mengawasi pelaksanaan proyek-proyek pemerintah dan melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila terdapat kejanggalan atas pelaksanaan proyek-proyek pemerintah.
APBN bukanlah milik elit pemerintah dan politik saja tetapi milik kita semua warga negara Indonesia. Untuk itu semua warga negara harus peduli dan ikut bertanggungjawab atas pelaksanaan APBN. Tugas kita semua untuk membuat APBN menjadi lebih membumi dan dekat dengan kehidupan kita semua sebagai warga negara.
Salah satu cara agar APBN menjadi lebih membumi adalah memberikan sosialisasi tentang APBN kepada para siswa di sekolah ataupun mahasiswa di kampus-kampus. Kegiatan Kemenkeu mengajar ataupun Perbendaharaan go to school atau go to campus, adalah cara –cara yang efektif untuk menjadikan APBN lebih membumi. Memperkenalkan APBN kepada siswa/mahasiswa akan memberikan pemahaman kepada mereka mengapa Negara perlu memungut pajak dan sebaliknya kewajiban warga Negara untuk membayar pajak.
Demikian pula dengan memahami belanja Negara mereka mempunyai tanggung jawab moral untuk ikut menjaga dan memelihara fasilitas-fasiltas umum yang disediakan oleh Negara.
Besar harapan kami tulisan ini dapat mengguggah kesadaran kita semua untuk mendukung gerakan #sadar APBN dan #kawal APBN dan salah satu cara agar APBN menjadi lebih membumi, semoga.*) Penulis merupakan Kepala KPPN Batam
Keterangan : Isi dan maksud tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab redaksi
Komentar