Abdul Muis, Navigasi Turun Temurun

id Abdul Muis, Navigasi, Turun, Temurun

Abdul Muis, Navigasi Turun Temurun

Abdul Muis, Petugas Navigasi Pulau Takong Kelurahan Pemping, Kecamatan Belakang Padang.

   Tugas sebagai seorang navigasi bagi Abdul Muis bukanlah tugas dadakan tetapi merupakan tugas warisan sejak dari kakeknya almarhum Raru Mangka dan almarhum ayahnya Abdul Kadir.
    "Saya tak terpisahkan dari navigasi. Tugas menjaga lampu suar agar lalu lalang kapal di laut aman telah dilakoni sejak zaman kakek hingga ayah saya. Kami semua bertugas  di bawah navigasi Tanjungpinang," ujar Abdul Muis saat ditemui di pulau tempatnya bertugas Pulau Takong akhir Juni 2014.
    Pulau Takong merupakan salah satu pulau di perairan Kota Batam yang  berada dalam wilayah Kelurahan Pemping, Kecamatan Belakang Padang. Pulau kecil ini berhadapan langsung dengan negeri jiran  Singapura.
    Pulau kecil yang luasnya hanya sekitar satu hektare ini berdiri menara suar setinggi 30 meter yang dibangun pada tahun 1970 dan tower radar yang dibangun atas dana dari Jepang pada 2011.
    Mercusuar di Pulau Takong merupakan panduan lalu lalang kapal yang melintasi alur laut kepulauan Indonesia (ALKI)  yang berbatasan dengan Selat Singapura (dulu disebut Selat Philips).
   Pulau Takong bersebelahan dengan Pulau Pelampung dan Pulau Nipa dua pulau yang menjadi tapal batas NKRI. Pulau Pelampung masih kosong sedangkan Pulau Nipa dihuni pasukan marinir.
   "Di Pulau Takong kami dari navigasi bertugas empat orang dan satu orang dari Pelindo," ujar Abdul Muis.
    Ia mengaku baru tiga tahun bertugas di Pulau Takong, namun dalam masa kerjanya selama 34 tahun sebagai teknisi suar dia telah melalang buana dari pulau ke pulau mengikuti jejak kakek dan ayahnya dulu, bahkan ada pulau yang dulu tempat tugas kakek dan ayahnya dia juga kebagian tempat tugas yang sama.
    Ayah   lima orang anak itu mengungkapkan, kakek dan ayahnya  dulu pernah bertugas di Pulau Laut, pulau terluar NKRI di wilayah Kabupaten Natuna yang berbatasan dengan Thailand. Lalu ke Pulau Mangkai di Kabupaten Kepulauan Anambas yang juga berbatasan dengan Thailand, Malaysia dan Vietnam. Kemudian dia juga bertugas di Pulau Sekatung, Natuna dan Pulau Kepala di Kecamatan Serasan, Natuna yang berbatasan dengan Malaysia.
    "Saya sebetulnya Agustus ini pensiun karena umur 56 tahun tetapi karena ada peraturan pemerintah yang baru, saya masih dikasi waktu dua tahun lagi," ujar Abdul Muis seraya mengenang suka dukanya bertugas sebagai penjaga mercusuar.
   Diakuinya, banyak suka duka yang telah dialaminya selama puluhan tahun bertugas dari pulau ke pulau. "Tak terasa anak-anak juga sudah besar bahkan membentuk keluarga sendiri, hanya tinggal si bungsu yang masih sekolah," tuturnya lirih seakan tak menyadari cepatnya waktu berlalu.
    Diawal bertugas dia tidak masuk melalui Distrik Navigasi Kelas I Tanjungpinang tapi melalui navigasi Medan sebagai teknisi pada tahun 1973. Mungkin karena panggilan pulau, Abdul Muis tak betah di Medan meninggalkan Tanjungpinang, kampung halamannya. Maka, ia kemudian minta pindah ke Tanjungpinang.
   Setelah beberapa tahun di kantor  Navigasi Tanjungpinang, barulah dia bertugas dari pulau ke pulau sebagai penjaga menara suar.
   "Dulu bertugas sebagai navigasi selagi betah disitu-situ aja tempatnya tak pindah-pindah. Beda dengan sekarang betah tak betah ada masanya dipindahkan, jadi tak menunggu bertahun-tahun " ungkap Abdul Muis.
    Ia mencontohkan saat 2004 bertugas di Pulau Putri (Pulau Nongsa) pulau terluar NKRI di wilayah Batam yang berbatasan dengan Singapura, namun tahun 2005 ditarik lagi ke Tanjungpinang dan 2009-2010 ia kembali bertugas di Pulau Putri lalu berlanjut ke Pulau Takong hingga kini.
   Perihal lampu suar yang dijaganya berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya teutama bahan bakar yang digunakan. Jika di Takong menara suar berbahan bakar solar begitu juga pulau suar lainnya, sedangkan di Pulau Putri memakai panel surya atau solar sel.
   "Bahan bakar suar akan mempengaruhi daya pancar suar. Jika pakai solar daya pancarnya lebih jauh, beda dengan solar sel. Itu sebabnya di laut yang lalu lalang kapalnya ramai seperti di Pulau Takong, suarnya memakai bahan bakar solar," ujarnya.
   Kendala utama yang diakuinya bertugas di pulau adalah air bersih. Seperti saat ini yang dialami di Pulau Takong, walau bermukim  dilintas internasional yang ramai tidak seperti di Pulau Mangkai atau Pulau Laut, namun air sangat sulit diperoleh.
   Menurut dia, jika butuh air bersih mereka  pesan di Pulau Belakang Padang (ibukota kecamatan-Red) yang berjarak sekitar 1,5 jam pakai boat pancung. Harga air per ton mencapai Rp400.000 dan dalam sepekan kami butuh  8 ton air.
   "Tinggal di pulau harus hemat air. Sulit airlah yang sangat kami rasakan walau tempat tinggal kami terpencil dan bergaji kecil," ujarnya seraya tertawa ringan. (Antara)

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE