Tanjungpinang (ANTARA) - Siang itu kompleks rumah peribadatan warga keturunan Tionghoa di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, yakni Vihara Avalokitesvara -Pagoda Sata Sahasra Budhha tampak lengang. Namun, di aula utama vihara, sejumlah biksuni tengah melaksanakan ibadah, sembahyang kepada dewa.
Di pekarangan samping vihara, saat itu sepasang calon pengantin mengenakan pakaian adat khas Tionghoa dengan warna merah menyala sedang melakukan pengambilan foto pranikah. Senyum bahagia tampak jelas di wajah orientalnya, saat ANTARA menyapanya, Kamis (25/7).
Di beberapa sudut, terlihat sejumlah pekerja sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang merawat taman, memasang plafon gipsum, memperbaiki jembatan kecil, hingga membersihkan rumah abu di kompleks rumah peribadatan itu.
Di atas lahan seluas 11 hektare milik Yayasan Maitri Paramita itu berdiri sejumlah bangunan. Selain rumah peribadatan vihara dan pagoda, juga terdapat rumah pembakaran (kremasi), rumah abu, dan rumah papan nama (tempat nama-nama almarhum yang dikremasi).
Saat belum banyak pengunjung yang datang berwisata atau beribadah siang itu, Satrio (52) dan istrinya Marni (51) tengah bercengkerama duduk di teras depan Pagoda Sata Sahasra Buddha.
Bangunan depan pagoda menempel tempat duduk yang dibuat dari batu dilapisi keramik yang berasal dari India.
Pemandangan menarik kala melihat Satrio dan istrinya duduk santai tapi tetap siaga bila sewaktu-waktu dipanggil bertugas.
Saat ANTARA menyapa dan bertanya tentang ibadah apa yang sedang dilaksanakan oleh para biksuni, istri Satrio, yang mengenakan hijab sorong warna merah bata itu, menyatakan tidak tahu karena mereka bukan pemeluk Buddha sehingga awam bagi mereka tentang apa saja peribadatan yang sedang dilaksanakan oleh pemuka agama yang berasal dari Tiongkok tersebut.
Namun, ketika ditanya sejarah dan ornamen maupun arti relief yang ada di pagoda dan vihara, dengan antusias Satrio menjelaskan.
Satrio, pria asal Jawa Timur yang sudah 15 tahun merantau ke Tanjungpinang dan bekerja di kompleks Vihara Avalokitesvara, menyatakan meski bukan penganut Buddha, ayah tiga anak itu mengaku nyaman bekerja di lingkungan yang berbeda.
Bekerja di pagoda membawa berkah tersendiri bagi Satrio yang hanya lulusan SMP. Karena di kampung halamannya, dia tidak memiliki pekerjaan tetap, hanya buruh yang menunggu panggilan kerja.
Pada tahun 1998, kala krisis moneter menekan perekonomian Indonesia, Satrio merasakan beban untuk menghidupi keluarga, dengan pekerjaan sebagai buruh serabutan.
Karena pekerjaan dan penghasilan tidak jelas, sementara tiga anak harus dibiayai, pada Maret 2009, Satrio memutuskan merantau dengan modal hasil menjual sapinya.
“Waktu itu saya jual dengan harga Rp7,5 juta. Saya buat modal berangkat ke Tanjungpinang bersama istri dan tiga anak,” cerita Satrio.
Di Tanjungpinang, Satrio tinggal dengan kerabatnya, sambil mencari kerja. Hingga akhirnya dapat kesempatan jadi tukang di vihara.
Berangkat dari tukang kebun dan bersih-bersih di vihara, kini Satrio dipercaya jadi petugas penjaga dan kebersihan di Pagoda Sata Sahasra Buddha.
Bekerja dari pagi hingga sore, membersihkan pagoda berlantai sembilan. Dari gaji Rp75 ribu per hari, kini ia digaji sesuai upah minimum kabupaten (UMK) Rp3,1 juta per bulan.
Selain gaji bulanan, Satrio juga diberikan fasilitas mes di dalam kompleks pagoda. Namun fasilitas itu ditolaknya agar ia lebih leluasa beraktivitas di luar, mengingat jika sudah malam, gerbang ditutup sehingga akan repot bila harus keluar pada malam hari.
Bagi Satrio, gaji yang diterima dengan merawat tempat ibadah tersebut cukup untuk membiayai keluarga hingga menyekolahnya ketiga anaknya sampai jenjang SLTA.
Kini, Satrio masih memiliki tanggungan satu anak bungsu yang masih bersekolah. Dua cucu yang dititipkan kepadanya setelah putri pertamanya wafat beberapa tahun lalu.
Keberadaan Satrio di pagoda itu juga kadang membuat penasaran para pengunjung karena seorang muslim bekerja di tempat ibadah pemeluk Buddha.
Satrio menjelaskan tak ada yang salah dengan pekerjaan dan tempat dia bekerja, bahkan tidak ada paksaan yang dia dapat terkait keyakinannya. Semua berjalan harmonis dan saling menghormati keyakinan masing-masing.
Ketika mendapat pertanyaan serupa, Satrio menjawab bahwa dia maupun umat lainnya sama-sama beribadah dan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, meski tata cara ibadahnya tidak sama.
Sembahyang yang dilakukan umat Buddha juga untuk beribadah kepada Tuhan. Begitu pun ibadah shalat yang dilakukannya juga demi menyembah Allah.
Cerita keberagaman
Satrio bukan satu-satunya pekerja muslim yang ada di kompleks pagoda. Ada beberapa pekerja lainnya yang bertugas sebagai buruh bangunan.
Selain keberadaan Satrio yang menunjukkan keberagaman itu nyata, di kompleks vihara dan pagoda yang kental dengan nuansa Tionghoa itu, pengunjung juga dapat merasakan bahwa ini adalah kebinekaan Indonesia.
Ketika waktu shalat tiba, misalnya, suara azan dari pengeras suara masjid yang ada di dekat area vihara dan pagoda juga bergema. Ketika pengunjung mengelilingi pagoda dan vihara, saat azan berkumandang, terlihat para biksuni selesai merapalkan doa-doa.
Suasana ini sepertinya jamak, misalnya, ketika selesai menghadiri ibadah di Masjid Istiqlal Jakarta pada suatu pekan, lalu disambut bunyi lonceng di Gereja Katedral yang ada di dekat masjid terbesar di Indonesia itu.
Di sekitar kompleks vihara dan pagoda terdapat masjid yang berada di tengah perumahan sehingga suara azan terdengar setiap lima kali sehari.
Pagoda Sata-Sahasra Buddha diresmikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI Supriyadi pada Juli 2023.
Pada Januari 2024, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meresmikan prasasti Pagoda Sata-Sahasra Buddha.
Peresmian pagoda menjadi tonggak penting dalam perjalanan spiritual umat Buddha di Tanjungpinang. Selain itu, keberadaannya sebagai simbol kebesaran umat Buddha, diharapkan menjadi ikon yang memancarkan keindahan budaya Tionghoa serta menarik wisatawan dan peziarah dari berbagai belahan dunia.
Wisatawan tidak hanya datang dari masyarakat lokal, tapi juga dari berbagai daerah di Nusantara hingga mancanegara. Penziarah terbanyak datang dari dataran Tiongkok, Singapura, India, Banglades, Australia, hingga Jerman.
Selain itu, Pagoda Sata-Sahasra Buddha menjadi langkah penting dalam memperkuat identitas dan keberagaman di Kepulauan Riau.
Karya seni
Keberagaman tidak hanya terlihat dari toleransi antarumat beragama yang ada di Pagoda Sata-Sahasra Buddha, tapi dari ornamen dan bahan bangunan yang tersaji di pagoda tersebut.
Pagoda Sata-Sahasra Buddha dibangun pada Juni 2016 dengan anggaran sekitar Rp100 miliar yang berasal dari donasi umat Buddha dari berbagai daerah.
Butuh waktu 7 tahun membangun pagoda yang terdiri atas sembilan lantai, dengan memiliki panjang 52 meter, lebar 32 meter, dan tinggi 46,8 meter. Pagoda ini memiliki daya tampung 2.000 orang untuk beribadah.
Satrio mengatakan hampir sebagian besar bahan pembangunan pagoda dibawa dari China, seperti 20.960 keramik relief Buddha, pagar, lonceng, patung dewa-dewa, tiang penyangga, hingga papan nama.
Namun, beberapa keramik lantai dan tempat duduk dibangun menempel dengan dinding pagoda berasal dari India. Keramik itu bercorak bintik-bintik putih warna tanah liat.
Kata Satrio, satu-satunya keramik yang berasal dari Jawa Timur digunakan sebagai penutup lantai tempat altar.
Keramik tersebut dipesan khusus dengan motif seperti bunga teratai. Hanya ada di lantai satu tempat pemuka agama dan umat Buddha beribadah.
“Hampir semua ornamen-ornamen ini dari China, kalau keramik ini dari India. Satu-satunya keramik dari Jawa Timur, ada di dalam pagoda, yang membentuk bunga itu,” kata Satrio menunjukkan arah.
Kemegahan Pagoda Sat-Sahasra Buddha mendapat pengakuan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri), peraih dua rekor untuk kategori tertinggi di Indonesia serta memiliki keramik dengan relief Buddha terbanyak.
Pagoda Sata-Sahasra Buddha terletak di kompleks Vihara Avalokitesvara di Jalan W.R Supratman, KM 14 Kota Tanjungpinang. Terbuka untuk umum, gratis dikunjungi setiap hari, dan beroperasi sampai pukul 17.00 WIB.
Situs umat Buddha ini merupakan satu dari tiga wisata religi di Tanjungpinang. Selain Vihara Avalokitesvara, terdapat pula Vihara Ksitigarbha Bodhisattava dan vihara tertua, Dharma Sasana yang berusia 300 tahun.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sepotong cerita keberagaman di pagoda tertinggi di Indonesia
Komentar