Samarinda (ANTARA) -
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Herdiansyah Hamzah menyatakan bahwa dua putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan pencalonan kepala daerah memberikan angin segar bagi demokrasi elektoral di Indonesia.
"Ini adalah putusan yang progresif, terobosan yang memberikan angin segar bagi demokrasi elektoral. Terlebih proses pencalonan yang selama ini disandera oleh kelompok oligarki dengan mendesain kotak kosong," ujar pria yang akrab disapa Castro di Samarinda, Rabu.
Putusan tersebut adalah Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah, serta Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia calon kepala daerah yang diambil saat penetapan oleh KPU.
Dia menilai putusan itu harus diapresiasi publik karena esensi tersebut melawan kartel politik.
Menurut Castro, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan.
Baca juga: UU Pilkada digugat ke MK lagi, kali ini minta calon bisa maju dengan dukungan ormas "Kalau pembentuk Undang-Undang (DPR dan pemerintah) mengubah regulasi tanpa berpatokan pada putusan MK ini, jelas itu serupa dengan pembangkangan hukum. Ini jelas berbahaya bagi demokrasi kita," tegasnya.
Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20 persen menjadi 7,5 persen.
Castro menjelaskan bahwa perubahan ini diambil dari persebaran jumlah suara. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, PDIP yang hanya memiliki 15 kursi di DPRD tidak mencapai ambang batas 20 persen.
Namun, dengan putusan MK, persebaran suara PDIP yang mencapai sekitar 800 ribu suara dapat mengajukan calon.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul:
Pakar hukum: Dua putusan MK beri angin segar demokrasi elektoral
Komentar