Kapal asing pilih sandar di Singapura ketimbang Batam

id mv neha

Kapal asing pilih sandar di Singapura ketimbang Batam

Ilustrasi, perusahaan galangan kapal di Kota Batam Kepulauan Riau. (ANTARA FOTO/WAhyu Putro A)

Batam (ANTARA) - Kapal asing memilih bersandar di Singapura ketimbang di Kota Batam Kepulauan Riau karena masih banyaknya pelaku bahari yang belum memahami aturan internasional.

Pakar Kemaritiman dari ITS, Raja Oloan Saut Gurning dalam siaran pers yang diterima, Senin, mengatakan ketidakpahaman terhadap regulasi kemaritiman internasional dan regulasi sektor kemaritiman Indonesia yang tumpang tindih menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum.

"Kebanyakan pelanggaran hukum di sektor maritim, menurut saya dominan diakibatkan oleh ketidakpahaman berbagai regulasi internasional bagi dunia usaha," kata dia. 

Berbagai regulasi terkait keamanan saling tumpang tindih, dan menambah potensi terjadinya pelanggaran.

"Misalnya juga menjadi stimulan berbagai potensi celah melakukan pelanggaran hukum menyangkut operasi di kapal dan wilayah perairan nasional," kata dia.

Dan itu menjadi celah dan potensi tindak kejahatan bagi mafia pelabuhan, hingga menyebabkan banyaknya kapal asing memilih berlabuh di Singapura ketimbang di Indonesia.

Walau pun biaya sandar kapal di Singapura jauh lebih mahal ketimbang Indonesia, namun kapal asing tetap memilih berlabuh di Singapura, ketimbang Indonesia, demi menghindar potensi pelanggaran. 

Salah satu kasus yang terjadi di Batam, di antaranya penahanan kapal asing MV Neha milik Bulk Blacksea Inc. berbendera Djibouti (kapal ini sempat bernama MV Seniha-S) terjadi pada 7 Desember 2017 di Batam. 

MV Neha yang sebenarnya sudah siap berlayar, tetapi sekitar 100 orang berpakaian preman tiba-tiba menaiki kapal. Padahal, kapal tersebut telah mengantongi Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dari KSOP Batam. 

Terakhir, kasus ini berimbas pada ditetapkannya Mantan Kepala Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kota Batam, berinisial BG sebagai tersangka. 

BG disangka melakukan pemalsuan dokumen. Padahal kepala syahbandar tidak berwenang mengeluarkan dokumen, melainkan hanya surat izin berlayar.

Kemudian, kepala syahbandar dituduh mengeluarkan surat izin berlayar saat kapal dalam proses kasasi.

"Tapi, surat izin tersebut saya keluarkan pada 2017, sementara proses kasasi kapal tersebut baru dilakukan 2018. Selan itu, saya juga tidak mengeluarkan dokumen apapun, selain surat izin berlayar. Kewenangan mengeluarkan dokumen ada di pengadilan," kata BG, Sabtu (26/10).

BG berharap agar penanganan kasus kapal ini bisa dilakukan seadil-adilnya, karena kasus ini bisa mencederai  sektor maritim Indonesia di mata internasional.

“Kasus ini bisa menjadi tolak ukur penegakan hukum di Indonesia. Bila dilakukan dengan benar akan mengembalikan kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Jika permasalahan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin citra kemaritiman Indonesia di mata Internasional kiat terpuruk,” tutur BG. (Adv)

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE