Pulau Penyengat, Monumen Bahasa Melayu Nan Abadi

id Pulau Penyengat, Monumen, Bahasa Melayu, Nan Abadi

Pulau Penyengat, Monumen Bahasa Melayu Nan Abadi

Siang menjelang sore pada hari Sabtu di awal Januari 2015, hilir mudik pengunjung silih berganti memasuki areal pemakaman Engku Puteri di Pulau Penyengat, salah satu pulau di Provinsi Kepulauan Riau.

Salah seorang pengunjung terlihat tertegun berdiri di salah satu makam yang berada persis di depan pintu masuk areal bangunan utama makam Engku Puteri.

Matanya nanap ke batu nisan yang bertuliskan "Raja Ali Haji 1808--1873 Pengarang Gurindam Dua Belas".

"Dari sinilah muasalnya, hingga kini ratusan juta orang menjadi penutur bahasanya. Sungguh besar jasa Raja Ali Haji," lirih Abdul Aziz saat menziarahi makam Raja Ali Haji di Pulau Penyengat.

Pria berkulit gelap yang bermukim di wilayah timur Indonesia itu menyempatkan diri singgah di Pulau Penyengat karena ingin menziarahi makam ahli bahasa yang hidup pada masa kerajaan Riau Johor.

Kekagumannya pada sosok ulama, sastrawan, budayawan, dan cendekiawan Melayu yang hidup pada abad ke-19 itu menuntunnya ke Pulau Penyengat, sebuah pulau kecil yang diambil dari nama hewan bersengat yakni penyengat.

Pulau yang berhadapan dengan Kota Tanjungpinang itu dapat ditempuh sekitar 15 menit dengan pompong (kapal kayu bermesin),  merupakan pulau yang banyak menyimpan sejarah dan pulau yang mengabadikan persatuan Indonesia dalam satu bahasa yang berakarkan bahasa Melayu.

"Kami yang tinggal di wilayah timur Indonesia juga menjadi penutur bahasa Melayu. Walau kami banyak memiliki bahasa ibu, peradaban kami dikenal dunia karena bahasa Melayu yang bermuara di Pulau Penyengat," ujar Aziz yang juga wartawan media nasional.

Apa yang diungkap salah seorang pengunjung Pulau Penyengat itu tidaklah berlebihan karena tapak sejarah membuktikan bahwa pulau tersebut dulunya tidak hanya sebagai pusat Kerajaan Riau Lingga, tetapi juga berperan dalam pengembangan bahasa Melayu, yang menjadi lingua pranca kala itu.

Bahkan, Guru Besar Melayu Prof. Dr. Yusmar Yusuf mengibaratkan Pulau Penyengat sebagai sebuah taman bahasa terapung yang mengambang membawa bahasa tersebut ke belahan negeri lain.

"Pulau Penyengat bak taman bahasa terapung yang mengambang membawa bahasa tersebut ke mana-mana, taman bahasa itu bergerak diantara kosmopolitan dunia tidak hanya ke Batavia, tetapi ceruk nusantara dan belahan benua lain. Lalu lintas bahasa itu mengerling melihat taman terapung di Selat Riau," ujar Yusmar.

Budayawan Riau itu mengungkapkan bahwa bahasa Melayu semula adalah bahasa tutur yang banyak dipakai masyarakat pesisir yang bermukim di sungai-sungai utama Sumatera dan Borneo, lalu menjadi bahasa perdagangan sejak era kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang hingga menjadi lingua pranca pada masa Kerajaan Riau Johor.

    
Balaghah
"Basis persemayaman bahasa Melayu mencapai puncak atau 'balaghah' keindahan seni berbahasa ada di Pulau Penyengat. Pulau Penyengat dapat dijadikan laboratorium balaghah bahasa Melayu," kata Yusmar.

Bahasa Melayu yang semula berada pada tingkat tutur di sepanjang sungai-sungai di Sumatera, Hulu Batang Jambi atau Palembang dan Borneo hingga kemudian ke Pulau Penyengat telah sampai puncak tinggi, bahasa ayat atau kata dirangkai menjadi bahasa yang jelita di Riau.

"Riau itu, ya, Pulau Penyengat," ungkap Yusmar.

Ia mengungkapkan keindahan seni berbahasa itu terlihat dalam genre tulisan seloka, puisi, gurindam, pantun, dan buku-buku karangan Raja Ali Haji serta penyair yang bermukim di Riau.  Pulau Penyengat menjadi taman penulis karena dari pulau tersebutlah lahir buku-buku yang kini menjadi acuan sejarah seperti Tuhfat al-Nafis (1865) dan  Salasilah Melayu dan Bugis (1890) di antara buku karangan Raja Ali Haji.

Lahirnya bentuk verbal dari bahasa tutur Melayu itu telah mengangkat bahasa tersebut menjadi bahasa yang diperhitungkan dalam pergaulan masyarakat dunia. Bahkan, pulau kecil tersebut menjadi pusat peradaban Melayu karena peran dari para cerdikpandainya.

"Itu sebab Pulau Penyengat layak dijadikan monumen bahasa. Pulau itu sendiri telah menjadi sebuah monumen yang mengingatkan orang bahwa di sanalah seni dan keindahan balaghah berbahasa Melayu bermula," ujar Yusmar.

Menurut dia, wajar jika Pulau Penyengat dijadikan sebagai sebuah monumen bahasa Melayu karena seni keindahan berbahasa tulis itu hanya ada di Penyengat yang tidak dimiliki daerah lain yang  masyarakatnya juga menjadi penutur bahasa Melayu.

Pada masa Kerajaan Riau Lingga, penulisan bahasa Melayu mengalami transpormasi luar biasa tidak hanya masuk dalam genre karya sastra, tetapi juga hukum, perundang-undangan, agama, dakwah, dan ilmu pengetahuan.

"Bahkan, Residen Riau Elizar Nechtsher yang juga dikenal sebagai penulis, menulis ragam nama tumbuhan di Pulau Bintan dalam bahasa Melayu," ujar Yusmar.

Walaupun bahasa Melayu sebelumnya hanyalah bahasa tutur dan menjadi bahasa perdagangan mengingat Selat Riau yang selalu ramai dilalui kapal-kapal dagang, unsur balaghah bahasa Melayu dari para pujangga di Pulau Penyengat telah memberikan nilai lebih terhadap bahasa tersebut.

Bahasa Melayu yang memiliki bentuk verbal tidak hanya dalam bentuk surat atau catatan cendekia Melayu, tetapi diberi kodifikasi  oleh Raja Ali Haji secara sistematis, seperti karyanya Kitab Bustanul-Katibin (1857) yang merupakan buku tata bahasa Melayu dan Kitab Pengetahuan Bahasa  (1859) yang merupakan kamus bahasa Melayu.

Dalam perkembangan selanjutnya pengetahuan tentang bahasa Melayu terus berkembang bahkan menjadi bahasa nasional karena adanya kodifikasi yang dibuat oleh sastrawan Pulau Penyengat dan bahasa Melayu juga menjadi rujukan linguistik.

"Bahasa Melayu dapat menjulang nilai-nilai langit dengan tradisi tulis. Jadi, orang Kepulauan Riau jangan ragu untuk membahanakan bahasa Melayu yang kini menjadi bahasa persatuan berasal dari Pulau Penyengat yang merupakan negeri Riau sesungguhnya," ungkap Yusmar.

    
Warisan Dunia
Berdasarkan jejak sejarah masa lalu, tidak berlebihan pula apabila semangat menonjolkan pulau kecil dengan sejarah besar itu diusung sebagai salah satu Situs Warisan Dunia atau World Heritage UNESCO.

Usulan tersebut telah lama dikumandangkan, yakni sejak 19 Oktober 1995. Namun, redam seiring dengan waktu dan kini sempena Hari Pers Nasional (HPN) Kepri 2015 semangat menjadikan jejak kebesaran Kerajaan Riau Lingga itu muncul lagi.

Ikhtiar memperkenalkan tapak warisan Melayu ini sebagai usaha yang bagus hanya saja pemerintah daerah dalam hal ini sebagai leader pengajuan usulan ini harus mengkaji betul tema besar yang akan diangkat karena masih ada daerah lain dengan keunikan budaya dan umur sejarah yang lebih tua akan menjadi pemikat.

Namun, hanya satu kelebihan yang dimiliki Pulau Penyengat yang tidak dimiliki daerah lain, yakni sumber bahasa Melayu. Menjadikan Pulau Penyengat sebagai warisan dunia karena faktor bahasa Melayu adalah inisiatif cerdas karena bahasa yang dahulunya berasal dari negeri kecil, tetapi mampu menjadi bahasa pemersatu dalam bangsa yang besar.

Maka, tidak berlebihan pula apabila Pulau Penyengat adalah monumen bahasa Melayu nan abadi, pulau kecil itu menyimpan seribu satu cerita masa lalu dan seribu satu cerita pula untuk masa depan Indonesia. (Antara)


Editor: Rusdianto

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE