Jamaluddin Menyongsong Ombak Demi Ikan Duyung

id Jamaluddin, Menyongsong, Ombak, Demi, Ikan, Duyung,sampan,batam

Jamaluddin Menyongsong Ombak Demi Ikan Duyung

Nelayan Suku Laut Jamaluddin (kepri.antaranews.com/Evy R Syamsir)

SUARA pelantar berderit-derit pertanda ada orang yang melewati  bentangan papan kayu yang telah lapuk dimakan usia di permukiman Suku Laut di Pulau Gara, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Namun, derit suara yang mengoyangkan rumah hunian suku asli di sepanjang pelantar itu tidak menggubris Jamaludin (56) yang sedang asyik memperbaiki mata pancing besar yang terbuat dari besi.

Jari jemari tangannya yang hitam legam dengan lincahnya mengikatkan kail besi dengan tali nilon, sedangkan pada ujung tali yang satu lagi diikatnya dengan bola pelampung.

"Kail besar ini merupakan mata tombak, sedangkan bola ini untuk pelampungnya. Dengan tombak inilah kami menyongsong ombak menangkap ikam duyung," ujar Jamaludin.

Mencari ikan duyung (Holacos duyong) merupakan pekerjaan utama Suku Laut yang telah mereka jalani secara turun temurun saat musim angin Timur. Pada musim teduh ini ombak di perairan laut lepas tidak terlalu besar dan ikan duyung biasanya banyak muncul.

Ikan duyung mirip ikan lumba-lumba, namun badannya lebih besar,  warna kulitnya lebih terang atau bewarna kelabu. Ikan yang biasanya diburu setahun sekali saat angin teduh ini mereka tangkap dengan cara ditombak.

"Ikan besar yang kami tangkap benar-benar ikan duyung, bukan ikan duyung seperti yang di dongeng. Kalau ikan duyung seperti yang di dongeng tak sangguplah aku menangkapnya," ujar Jamaludin, seraya tertawa mengingat beda jauhnya antara ikan duyung yang dikenal masyarakat Suku Laut dengan ikan duyung yang hanya ada dalam cerita dongeng anak-anak yang digambarkan berparas putri cantik dan memiliki ekor  seperti ikan.

Lelaki paruh baya berbadan tegap ini telah menggeluti pekerjaan ini sejak muda, saat dia masih nomaden dan tinggal di sampan kajang (rumah sampan Suku Laut).

Bagi lelaki remaja di sana, kepiawaian menangkap duyung tidak hanya mencerminkan keperkasaan, tetapi juga pertanda bahwa dia telah boleh menikah.

Menangkap duyung bagi suku laut tidak hanya mengandalkan cuaca yang teduh, tetapi juga harus memenuhi persyaratan tertentu, di antaranya  sampan yang dibawa memburu ikan duyung tidak boleh dinaiki perempuan.

"Orang perempuan tidak boleh menemani kami saat memburu duyung. Ini pantang larang dari orang tua-tua kami dulu," ujar Jamaludin.

Ayah dari 13 anak itu menjelaskan, saat sedang berburu duyung mereka juga dilarang merokok, karena isapan rokok dapat menimbulkan suara dan duyung sangat sensitif dengan suara-suara  asing yang didengarnya.

Selain itu, si pemburu duyung juga harus memahami tabiat duyung saat berenang yakni menyongsong arus. Dalam kondisi di tengah laut lepas nelayan biasanya akan mengikuti arus, namun cara tersebut tidak berlaku apabila ingin mendapatkan duyung.

"Ikan duyung tidak pernah menunggang arus, tapi menyongsong arus. Kondisi ombak atau arus harus dipahami betul karena merupakan teknik untuk mendekati duyung," katanya.

Dengan pengalaman puluhan tahun menyongsong ombak, maka Jamaludin sangat dikenal di kalangan Suku Laut sebagai penombak jitu ikan duyung.

Ia mengakui, ada kalanya saat turun melaut berburu duyung ia pulang ke rumah dengan tangan hampa dan ada pula kalanya hingga dua ekor duyung yang beratnya mencapai 900 kilogram per ekor dibawanya pulang.

Berburu duyung dengan sampan dayung dan peralatan tombak seadanya merupakan aktivitas nelayan Suku Laut yang dilaksanakan setahun sekali dalam rentang waktu dari April hingga Mei. Cuaca pada bulan tersebut merupakan masa angin teduh dan  biasanya banyak ikan duyung menampakkan diri.

Ikan yang dikenal memiliki tekstur daging yang lunak dan halus itu dulu banyak terdapat di perairan Batam hingga perairan Pulau Mapur dan Tambelan. Namun kini, nelayan Suku Laut memburu ikan tersebut ke perairan Pulau Mapur atau perairan Kepulauan Tambelan di Laut China Selatan.

"Sejak kami telah dimukimkan di sini dan Batam jadi kawasan industri, tak pernah lagi kami berjumpa duyung. Kalau dulu laut Batam inilah tempat kami 'menyara' (bergantung hidup)," katanya.

Sebagai suku yang hidupnya di laut sangat tergantung pada putaran angin. Saat musim angin Selatan mereka akan bermukim di Pulau Bertam, pulau yang bersebelahan dengan Pulau Gara, dan jika musim angin Utara mereka berlindung di Tanjung Cakang (ujung Pulau Galang).

Perairan Batam tidak hanya memberikan mereka ikan duyung, tapi juga berbagai jenis ikan karang, kepiting, udang, serta sotong. Tapi kini mereka harus bergerak jauh dari kawasan yang dulu tempat mereka bersara karena ikan yang memberikan nilai ekonomis itu sudah langka.

Memburu duyung karena nilai jualnya tinggi. Dulu nenek moyang Suku Laut menjualnya kepada kapal-kapal nelayan China yang juga mencari ikan di perairan Kepulauan Riau. Tapi kini jika mereka mendapatkan duyung ikan tersebut telah ada yang menampungnya.

"Saat musim teduh begini sudah ada pelanggan yang pesan. Mereka senang daging duyung karena seperti daging sapi," tutur Jamaludin.

Ia menjelaskan, walau berat ikan duyung bisa mencapai 900 kilogram, namun untuk ukuran isinya hanya sekitar 150 kilogram, dengan harga jual Rp15.000 per kilogram.

Jamaludin yang juga Ketua RT 22/RW 06 Kelurahan Pulau Kasu, Kecamatan Belakang Padang, Batam, sejak 1991 telah menetap di Pulau Gara. Semula rumah mereka berupa rumah terapung yang dibangun pemerintah sebanyak 22 unit, dan pada 1992 di sepanjang pantai Pulau Gara dibangun 47 unit rumah bertonggak.

Keberadaan rumah yang memanjang sepanjang pantai Pulau Gara yang berhadapan dengan Tanjung Uncang, Pulau Batam itu sangat kontras. Dari perkampungan suku asli ini juga terlihat jelas megahnya bangunan Singapura, negeri jiran yang dulu lautnya bebas diarungi Suku Laut, tetapi kini jangan coba dimasuki maka hukumanlah yang akan diperoleh suku asli itu.

Berdekatan dengan Pulau Gara adalah Pulau Lingke, Pulau Cicer dan Pulau Bertam yang juga dihuni warga Suku Laut.

"Kami ini hidup di laut, apa pun yang terjadi di laut kami hadapi. Walau daerah tempat kami tinggal ini sebetulnya maju, tapi itu untuk orang lain, bukan untuk kami, karena bekal kami hanya kami dapatkan di laut," tutur Jamaludin yang galau memikirkan makin sempitnya mata pencaharian warganya.

Laut yang selama ini menjadi andalan mereka, kini telah dikavling untuk aktivitas lain, bahkan kepiting pun telah hilang karena tidak dapat lagi berlindung di balik bakau yang telah berubah menjadi tembok-tembok beton. (E010/H-KWR)

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE