Berhenti Mengajar, Sapri Alih Profesi Jadi Nelayan

id Berhenti Mengajar, Sapri Alih Profesi Jadi Nelayan

Berhenti Mengajar, Sapri Alih Profesi Jadi Nelayan

Sapri, S.Pd, mantan guru honorer di salah satu pulau terpencil, yang terpaksa alih profesi sebagai nelayan, karena honor mengajar yang tak mencukupi kebutuhan hidupnya. (antarakepri.com/Ardhi)

Selama 7 tahun megajar, ia hanya menerima gaji Rp100 ribu perbulan. Mencari profesi lain menjadi pilihan yang tak bisa ia tawar, karena kebutuhan dan beban hidup.
Keberhasilan meraih cita-cita dan impian masa kecil, merupakan suatu hal yang sangat membanggakan bagi setiap orang. Hal itu juga pernah dirasakan Sapri S.Pd, seorang nelayan di Desa Busung Panjang, Singkep Barat, Kabupaten Lingga, yang sejak kecil bercita-cita menjadi seorang pengajar.

Cita-cita mulia itu pernah diraihnya, dengan berhasil menamatkan pendidikan guru dan meraih gelar Sarjana Pendidikan. Ia semula mengajar sebagai guru honorer sekolah dasar (SD) di kampung kelahirannya, Desa Busung Panjang.

Namun, pada akhirnya, kebanggaan itu terpaksa ia kubur kembali, karena selama 7 tahun megajar, ia hanya menerima gaji Rp100 ribu perbulan.

Mencari profesi lain menjadi pilihan yang tak bisa ia tawar, karena mengingat kebutuhan dan beban hidup yang terus memaksa ia mengambil keputusan tersebut.

Bukannya tak menyesali berhenti dari profesi sebagai pengajar, namun hal itu sudah menjadi buah simala kama yang mau tidak mau harus ia telan pahit-pahit.

Honor yang di sisihkan pihak sekolah dari bantuan dana BOS, berkisar Rp100 ribu perbulan, sangat menyulitkan dirinya untuk menutupi kebutuhan hidup setiap bulan.

Wajar saja, uang Rp100 ribu rupiah saat ini pun sudah tak cukup untuk membeli sekarung beras 15 kg. Belum lagi belanja lauk pauk, dan kebutuhan dasar lainnya.

Memang diakuinya, ada dana tunjangan profesi guru dari pihak provinsi dan tunjangan-tunjangan lain, yang pernah diterimanya sewaktu ia masih mengajar. Akan tetapi tak setiap bulan pula ia terima.

"Biasanya 6 bulan baru sampai ke tangan," tutur pria berusia 29 tahun tersebut.
Sementara, yang namanya kebutuhan hidup, harus setiap hari dipenuhi. Dana tunjangan pun, kalau di total-totalkan per bulan, tak lebih dari satu juta rupiah, atau bisa dikatakan jauh dari angka minimal kebutuhan hidup layak di Kabupaten Lingga.

Dengan alasan tersebut, Sapri yang memiliki sedikit keahlian melaut, memilih untuk alih profesi sebagai nelayan, sembari berharap dan menunggu dibukanya penerimaan guru ASN di Kabupaten Lingga.

"Mengajar itu menyenangkan sekali. Kita bisa melihat anak-anak didik kita yang tadinya tidak bisa menghitung, membaca dan menulis, akhirnya jadi bisa," kata dia, dengan sedikit senyuman yang dibalut kerinduan.

Dia juga mengisahkan pengalaman hidupnya dan alasannya ingin menjadi seorang guru. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah, tak banyak guru yang bersedia mengajar hingga kepulau-pulau terpencil seperti kampung kelahirannya itu.

Tak heran, banyak anak-anak di kampungnya, tak memiliki pilihan masadepan selain menjadi seorang nelayan tradisional, yang dibekali para orang tuanya dengan pengalaman.

"Tak salah jika mereka (anak-anak di pulau terpencil) ingin jadi nelayan, namun akan lebih baik jika mereka berpendidikan. Dengan begitu mereka akan lebih mudah beradaptasi dengan pola nelayan modern," kata Sapri.

Pendidikan yang menurutnya menjadi faktor dasar peningkatan taraf hidup nelayan lah, yang sangat memotivasinya menjadi seorang guru.

Meskipun kini Sapri hanya seorang nelayan, tapi ia menyimpan harapan besar untuk bisa kembali menjadi pengajar. Tentunya, dengan harapan para guru honorer lebih diperhatikan serta difasilitasi lebih layak lagi oleh pemerintah.

"Kalau untuk saat ini, saya pilih jadi nelayan saja. Walau pun hasilnya tak begitu besar, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Yang penting bisa rutin melaut. Nanti kalau pemerintah kita bisa sedikit menaikkan penghasilan guru honorer, saya sangat ingin mengajar lagi," tutupnya. (Antara)

Editor: Evy R. Syamsir

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE