Membuka sekat penelitian di perbatasan melalui BRIN

id BRIN daerah perbatasan

Membuka sekat penelitian di perbatasan melalui BRIN

Dedi Arman, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN menunjuk peta silsilah keluarga kerajaan Melayu terdahulu di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. (ANTARA/Ogen)

Tanjungpinang (ANTARA) - Kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2021 membawa angin segar dan harapan baru bagi para peneliti yang bertugas di daerah, khususnya di wilayah perbatasan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Harapan baru ditumpangkan kepada BRIN didasarkan dari pengalaman Dedi Arman selaku Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN, yang dulunya sebagai peneliti di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang bertugas di satuan kerja (Satker) di Kepri.

Banyak sekat atau batasan yang menjadi kendala dengan sistem penelitian yang diterapkan selama ini.

Menurut Dedi Arman ada sejumlah kendala atau keterbatasan yang dihadapi peneliti Kemdikbud yang bertugas di wilayah perbatasan Kepri.

Pertama tidak ada penelitian kolaborasi. Di wilayah Kepri, ada sejumlah satker Kemdikbud, namun nyaris tidak ada kolaborasi dalam penelitian di antara satker yang ada. Meski tidak ada aturan tertulis, tapi dalam penelitian ada semacam larangan melibatkan pihak lain dalam penelitian baik itu dari satker lain atau dari perguruan tinggi.

Kedua, pembatasan wilayah penelitian. Kepri berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura, yang mana permasalahannya adalah peneliti yang bertugas di Kepri tidak bisa melakukan penelitian ke Malaysia dan Singapura dengan alasan bukan wilayah penelitian dan statusnya luar negeri yang membutuhkan perizinan yang rumit di Jakarta.

Padahal dari segi isu atau tema penelitian kesejarahan dan budaya begitu banyak yang bisa diangkat dan biayanya jauh lebih murah.



Anggaran minim

Dalam sejarahnya, Kepri bersama Malaysia dan Singapura sejak abad 15 hingga tahun 1824 berada dalam Kemaharajaan Malaka yang dilanjutkan Kerajaan Johor Riau Lingga dan Pahang.

Hubungan masyarakat semenanjung Melayu ini begitu dekat dan hanya administrasi yang memisahkan. Orang Batam, Tanjungpinang dan Karimun banyak memiliki saudara di Malaysia dan Singapura dan begitu juga sebaliknya.

Penelitian lintas wilayah dan berbentuk kolaborasi juga tidak bisa dilakukan.

Ketiga, waktu penelitian yang minim. Waktu penelitian para peneliti untuk melakukan penelitian di lapangan juga sangat dibatasi berkisar antara 8-12 hari.

Waktu penelitian yang relatif singkat berdampak pada hasil penelitian yang tidak optimal. Di Kepri, penelitian di daerah perbatasan bagian utara seperti Natuna dan Anambas sering mengalami kendala penerbangan dan pelayaran kapal yang sering tidak pasti.

Apalagi pada saat musim tertentu gelombang laut tinggi, kapal tidak diizinkan berlayar. Bayangkan kalau waktu penelitian hanya dibatasi 8-12 hari. Waktu banyak terbuang hanya untuk perjalanan pulang pergi (PP) ke lokasi penelitian.

Keempat, minimnya anggaran penelitian. Anggaran penelitian di satker yang ada di daerah, persentasenya sangat kecil dibandingkan jumlah total anggaran. Hal ini disebabkan satker itu tugas pokok dan fungsi memang tidak murni untuk penelitian.



Sibuk tugas lain

Mayoritas anggaran habis untuk kegiatan internalisasi, layanan perkantoran dan kepegawaian. Banyak yang menganggap mungkin alasan klise menjadikan minimnya anggaran sebagai kendala. Anggaran yang minim menjadi kendala tersendiri bagi peneliti dalam melakukan penggalian data di lapangan.

Kemudian, anggaran habis untuk akomodasi penginapan, transportasi dan juga untuk kegiatan diskusi terpumpun di lokasi penelitian. Tidak ada anggaran untuk sewa mobil, sewa speedboat atau sampan yang sangat menunjang kinerja peneliti di daerah perbatasan.

Kelima tema penelitian Top Down. Tema penelitian setiap tahunnya ditentukan dari Kemdikbud dan tidak mempertimbangkan kepakaran peneliti.

Setiap tahun tema penelitian cenderung berubah yang menyebabkan penelitian yang dilakukan peneliti setiap tahun juga berubah-ubah.

Selain itu, tidak ada kesinambungan atau penelitian berkelanjutan, sehingga tidak mengherankan hasil penelitian yang dihasilkan seorang peneliti jadi gado-gado, karena penelitian disesuaikan dengan tema yang sudah ditetapkan dari Jakarta.

Keenam, tugas lain selain penelitian. Para peneliti yang bekerja di daerah lebih banyak mengurusi pekerja di luar tugas utamanya sebagai peneliti.

Peneliti disibukkan dengan tugas lain sesuai tugas pokok dan fungsi instansi tempatnya bekerja. Peneliti lebih banyak kerjanya mengurusi kegiatan seremonial, seperti panitia seminar, panitia berbagai lomba, pembuatan film atau pun sosialisasi ke masyarakat.

Ketujuh, ketidakadilan tunjangan kinerja. Para peneliti yang bekerja di satker daerah mengalami kerugian dari segi penghasilan karena kebijakan dari Kemdikbud.

Peneliti madya yang bertugas di satker yang kepalanya Eselon 3 seperti Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, tunjangan kinerjanya (tukin) dibayarkan grade 9. Posisinya setara dengan tukin kepala sub bagian tata usaha (Kasubag TU).

Peneliti dengan status ahli peneliti utama (APU) tunjangan kinerjanya dibayarkan grade 12 atau yang seharusnya untuk jabatan peneliti madya.

Di satker yang kepalanya Eselon 4 seperti Kantor Bahasa Kepri nasibnya lebih naas lagi. Peneliti hanya bisa pada tingkat peneliti pertama, dan bagi yang ingin naik jenjang karirnya mesti harus keluar dari instansi tersebut.

Hal ini di satu sisi mematikan karir peneliti yang ingin bertugas di wilayah perbatasan tersebut.



Harapan Baru

Bergabung ke BRIN adalah sebuah pilihan bagi Dedi Arman, yang juga seorang mantan jurnalis di Kepri.

Dari hampir 200-an peneliti di Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, yang bergabung ke BRIN sekitar 70 an orang. Sebagian besar tetap di Kemdikbud beralih status menjadi pamong budaya.

Ia mengutarakan secara garis besar ada dua kelompok peneliti dari Kemdikbud yang bergabung ke BRIN. Pertama, peneliti madya yang usianya jelang 60 tahun. Mereka tidak jadi pamong budaya karena kendala umur yang harus pensiun umur 60 untuk pamong budaya madya.

Kedua, peneliti yang ingin berkarir di lembaga baru yang diyakini bisa membawa harapan baru.

Bergabung di BRIN sejak 1 Januari 2022 lalu, hanya dalam waktu singkat sejumlah hal baru yang positif diperolehnya. Penelitian kolaborasi yang diidamkan-idamkan bisa terlaksana.

Dedi bergabung dengan tim penelitian tentang perdagangan rempah yang melakukan penelitian dengan lokasi penelitian di tiga provinsi, yaitu Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Sumatra.

Dari enam anggota tim penelitian, tiga dari BRIN dan tiga orang lagi dari perguruan tinggi, serta dari organisasi pelaku usaha. Hal menarik lagi keenam tim peneliti memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, di antaranya sejarah, sosiologi, manajemen, ekonomi pembangunan, dan Sastra Inggris.



Perluas kajian

Selain dari segi penelitian kolaborasi, pola penelitian yang diberlakukan di BRIN juga menjadi daya tarik bagi penulis, mulai dari pembuatan proposal, seminar proposal dan pembagian kerja per anggota tim. Di Kemdikbud, setiap peneliti setiap tahun mendapat ‘jatah penelitian’ dan proposal hanya formalitas karena penelitian sudah pasti disetujui dan anggaran sudah ada.

Sementara di BRIN, peneliti harus bersaing untuk mendapatkan anggaran penelitian. Di sinilah dibutuhkan kepiawaian menggandeng sumber daya manusia yang berkualitas dan berkolaborasi untuk membuat proposal yang bagus sehingga lolos.

Pola kerja dengan sistem ruang kerja bersama atau co working space (CWS) juga menjadi sesuatu yang baru.

Kebijakan CWS yang diterapkan BRIN, termasuk juga adanya pilihan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) berjalan baik. Peneliti bisa fokus dalam tugas utamanya meneliti dengan hasil terbaik dan bisa dibaca, serta dimanfaatkan masyarakat.

Ke depan harapannya, CWS semakin banyak. Belum semua provinsi memiliki CWS BRIN, termasuk Provinsi Kepri.

Di samping itu, pembayaran tunjangan kinerja di BRIN menggembirakan peneliti eks kementerian. Peneliti madya yang sebelumnya menerima tunjangan kinerja grade 9 atau setara peneliti muda, kini bisa tersenyum karena tunjangan kinerjanya dibayar sesuai jabatannya.

Begitu juga peneliti utama dari eks kementerian, mereka bisa tersenyum karena kenaikan penghasilan per bulannya. Pendek kata dari segi penghasilan, peneliti madya dan peneliti utama sudah memperoleh berkah sejak bergabung dengan BRIN.

Para peneliti yang masih berpendidikan Strata 1 (S1) atau S2 bergabung ke BRIN juga karena ada harapan, di BRIN akses untuk melanjutkan pendidikan lebih luas lagi. Dengan peningkatan pendidikan dan penelitian lebih fokus, harapan utamanya tentu karir jadi peneliti makin bagus. Karir menanjak berdampak pada kesejahteraan para peneliti.

Ke depannya, BRIN diharapkan lebih besar lagi gaungnya. Memperbanyak CWS ke daerah-daerah agar BRIN lebih dikenal. Selain itu, juga diharapkan ada peningkatan anggaran dana penelitian.

Wilayah dan kajian penelitian juga didorong bisa diperluas. Peneliti sebagai koki atau chef, nantinya bagian lain di BRIN yang akan menghidangkannya ke masyarakat agar bisa dinikmati dan bermanfaat.*
 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membuka sekat penelitian di wilayah perbatasan melalui BRIN

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE