Saldi Isra mengakui merasa aneh dengan putusan MK

id MK,Saldi Isra,Pendapat berbeda Saldi Isra

Saldi Isra mengakui merasa aneh dengan putusan MK

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) dan Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) bersiap memimpin sidang permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi menolak gugatan batas usia capres-cawapres menjadi minimal 35 tahun dengan dua hakim yang berbeda pendapat atau "dissenting opinion" yakni Suhartoyo dan Guntur Hamzah. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/tom)

Jakarta (ANTARA) - Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi salah satu hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Ketika menyampaikan poin-poin pendapat berbeda, Saldi mengakui aneh luar biasa dan menyebut putusan tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar, karena dia mengklaim mahkamah berubah pendirian dalam sekejap.

“Sejak saya menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.

MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.

Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Sementara itu, MK menolak gugatan uji materi Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.

Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda (Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023) dan sejumlah kepala daerah (Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023) yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.

“Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” kata dia.

Saldi mengatakan mahkamah memang pernah berubah pendirian dalam memutus suatu perkara, tetapi tidak pernah terjadi secepat ketika memutus Perkara Nomor 90 yang diklaimnya terjadi dalam hitungan hari.

Perubahan itu, kata dia, tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, tetapi juga didasarkan pada argumentasi yang kuat setelah mendapat fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.

“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ucap dia.

Lebih lanjut dia mengungkap bahwa ketika rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan hakim konstitusi kecuali Ketua MK Anwar Usman.

“Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion),” ungkapnya.

Kemudian, dalam RPH berikutnya untuk membahas putusan perkara nomor 90-91/PUU-XXI/2023, RPH dihadiri oleh seluruh hakim konstitusi.

Beberapa hakim konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai opened legal policy, kata Saldi, tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Meski model alternatif yang dimohonkan oleh pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023,” ucap Saldi.

Tanda-tanda berubah pandangan beberapa hakim konstitusi itu, menurut Saldi, memicu pembahasan yang lebih detail dan ulet, sehingga pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali.

“Tidak hanya itu, para pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023, sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut,” ucapnya.

Di samping itu, Saldi juga mengungkap bahwa sebagian hakim konstitusi berubah haluan dari semula menyatakan Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 merupakan kebijakan hukum terbuka, menjadi mengambil posisi akhir untuk mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Atas putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Sementara itu, terhadap putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah atas putusan tersebut.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, masuk ke dalam ranah politik.

Aan di Kota Malang, Jawa Timur, kepada ANTARA mengatakan bahwa dikabulkan-nya sebagian permohonan mengenai mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman atau sedang sebagai kepala daerah, menjadi bagian dari politik praktis.

"Keputusan MK ini jelas-jelas sudah masuk ke ranah politik. Jadi bukan mahkamah hukum, tapi politik, menjadi bagian dari politik," kata Aan, yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Aan menjelaskan, walaupun dalam pertimbangan MK disebutkan bahwa kebijakan hukum terbuka (open legal policy) masih dipergunakan, ia menilai hal tersebut hanya dipergunakan sebagai argumentasi semata.

Menurutnya, MK yang sebelumnya menolak uji materi batas usia capres dan cawapres 40 tahun yang merupakan permohonan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Garuda, itu merupakan perspektif umum untuk kepentingan partai.

"Justru yang dikabulkan dalam perspektif yang sangat individual. Yang mengajukan, ia terinspirasi oleh tokoh, dan langsung disebutkan namanya. Artinya apa, ini sudah sangat jelas sekali, bahwa MK itu sudah mengarah kepada kepentingan politik praktis," tegasnya.

Ia menambahkan, dikabulkan-nya sebagian gugatan mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah tersebut, memberikan ruang kepada seseorang secara individu.

"Putusan MK itu tidak boleh bersifat menguntungkan kepentingan individu tertentu, itu melanggar asas erga omnes. Sementara ini memberikan ruang kepada seseorang secara individual. Ini politis dan individual," ucapnya.

Sementara itu, Politikus PDI Perjuangan Aria Bima mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan calon presiden dan calon wakil presiden yang berpengalaman maju dalam pilpres harus ditindaklanjuti dengan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di DPR.

"Karena keputusan ini menyangkut undang-undang, harus dilakukan revisi di DPR sehingga menjadi payung hukum bagi KPU menerbitkan peraturan KPU," kata anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Aria Bima di Jakarta, Senin.

Aria Bima mengatakan bahwa apa pun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentu harus ditaati karena lembaga ini yang bertugas mengaudit berbagai keputusan terkait dengan undang-undang dari sudut pandang konstitusi.

"PKPU berubah terkait dengan batas usia yang diperbolehkan karena faktor pengalaman, tetapi undang-undang tidak berubah," kata dia.

Menurut dia, itu merupakan tugas KPU dalam pelaksanaan pemilu harus berpayung pada undang-undang.

Selain itu, lanjut dia, dengan menyerahkan revisi UU Pemilu ke DPR yang memiliki kewenangan legislasi akan menjawab semua tuduhan yang dialamatkan kepada Presiden RI Joko Widodo terkait politik dinasti, perubahan nama MK jadi "Mahkamah Keluarga" karena Ketua MK adik iparnya.

"Ini akan menjawab tidak benar Presiden Jokowi mengubah aturan melalui MK agar anaknya lolos sebagai pendamping Prabowo Subianto," kata dia.

Keputusan yang telah dibuat MK, kata dia, ada dua pendapat, yakni: pertama, di atas UU ada konstitusi sehingga apa yang diputuskan MK tidak perlu dilakukan revisi undang-undang.

Pendapat kedua, lanjut dia, karena ini menyangkut undang-undang, DPR tidak bisa menolak keputusan tersebut, tetapi DPR harus melakukan revisi terkait dengan aturan tersebut.





Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Saldi Isra mengakui merasa aneh luar biasa dengan putusan MK 

Komentar

Komentar menjadi tanggung jawab anda sesuai UU ITE